OLEH:
AISYAH IZZAH BILLAH AJHURY M.Pd.I
I.
Pendahuluan
Menurut sebagian pendapat,
kata tasawuf diambil dari kata shafa, yang berarti jernih. Sedangkan
menurut sebagian yang lain, kata tersebut diambil dari kata shafwah yang
berarti orang-orang yang terpilih. Masih ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa kata tasawuf diturunkan dari kata shaf yang berarti baris atau
deretan. Pemaknaan ini mengandaikan para generasi muslim awal yang tegak
berdiri di baris pertama dalam ibadah maupun jalan para pelaku tasawuf disebut sufi
dan telah melewati rentang zaman yang sangat panjang.
Menurut sejumlah ulama,
seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah, apa yang disebut tasawuf
tidak lebih dari etika Islam. Oleh karena itu, tasawuf cukup diberi label
sebagai moralitas Islam saja. Dengan demikian, tujuan tasawuf dalam hal ini adalah
sama dengan tugas-tugas Nabi Muhammad SAW. “Tidaklah aku diutus kecuali untuk
menyempurnakan akhlaq.[1]
II.
Hubungan Sufisme
dengan Kemiskinan
1.
Benarkah Sufisme Penyebab
Kemiskinan?
Untuk sementara, sufisme
akan didefinisikan dengan mengambil definisi Alberry[2]
yang mengatakan bahwa sufisme merupakan gerakan mistisisme, maka ia berusaha mencari
pengetahuan dan kebahagiaan di balik yang material. Karena sufisme adalah
mistikisme maka secara epistimologis, sufisme adalah upaya untuk mencapai
ma’rifat lewat metode yang irasional. Dan karena sufisme adalah gerakan, maka
sufisme muncul dalam bentuk organisasi kerohanian yang menjalankan
praktek-praktek ritual dan etis tertentu (lazim disebut sebagai tarikat) dengan
definisi sementara ini, kita akan melihat beberapa dugaan tentang sufisme dalam
hubungannya dengan kemiskinan. Banyak orang beranggapan bahwa Islam mengalami keterbelakangan
karena menyebarnya sufisme di dunia Islam.
Seorang pemikir Islam
menuding al-Ghazali sebagai penyebab runtuhnya peradaban Islam dan terhentinya
kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Ghazali telah menyembelih ayam bertelur emas.
Kata pemikir ini, irasionalisme dalam sufisme memandulkan ilpeng (ilmu
pengetahuan). Ritualisme membuatkan umat terhadap problema kemasyarakatan.
Mistikisme menjauhkan mereka dari perjuangan hidup yang realistik. Sufi adalah
orang-orang yang menghancurkan Islam dari dalam dan menyerahkan hegemoni dunia
kepada orang-orang kafir.
Betulkah dakwaan itu?
Kalau kita menarik sejarah, sufisme justru tumbuh subur pada masa kejayaan
Islam. Pada zaman Abbasiah, ketika buku-buku Yunani diterjemahkan, dan ketika
universitas-universitas Islam tumbuh subur pada saat itu pula umat Islam
mengenal bintang-bintang sufi yang terkenal: al-Muhasibi, Dzun Nun al-Misri,
Abu Yazin al-Busthomi, al-Junaidi al-Baghdadi, Ahmad al-Kharraz, al-Hallaj dan
sebagainya bila ditelusuri lebih lanjut, kita akan menemukan bahwa sufisme
sebagai gerakan, mulai muncul ketika kekuasaan Islam sudah melebar ke separuh
dunia. Kelompok kaya mulai bermunculan. Beberapa sahabat Nabi SAW seperti Ibnu
Umar, Abu Dzar, Hudzaifah, mengkotbahkan nilai-nilai sufisme ketika kekayaan
mulai mengalir di dunia Islam dan ketika manusia telah sibuk bermegah-megahan
tanpa memikirkan orang-orang di sekelilingnya. Sufisme pertama kali timbul di
Basrah dan Kufah, di pusat-pusat kekuasaan Islam, di tempat didirikannya
bangunan-bangunan megah yang “menyakitkan hati” orang-orang yang saleh. Sebutan
“sufi” itu sendiri dinisbahkan kepada Abu Hasyim bin Syarik dari Kufah yang
terkenal karena kezuhudannya. Dari kedua kota
ini sufinya kemudian menyebar ke bagian lain di dunia Islam, terutama khurasan
(yang melahirkan Ibrahim bin Adham Abdullah bin mubarak dan sebagainya).
Melihat kenyataan ini dapat kita membalikkan pertanyaan di atas. Bukannya
disebabkan oleh kemiskinan, tetapi sufisme lahir sebagai akibat kekayaan.
III.
Nilai-Nilai Sufisme
dalam Mengatasi Kemiskinan
Muhammad al-Ghozzali,
tokoh al-Ikhwan[3],
mengajak orang untuk kembali kepada kehangatan sufisme dengan bukunya “Rikaiz
al-Imam Baina al-Aql wa al-Qalbu.[4] Ia
membantu kita untuk mendefinisikan sufisme lebih terkini, sufisme ditandai 3
hal:
1.
Berusaha menjadikan iman
yang bersifat aqli menjadi iman qalbi
2.
melatih mengembangkan diri
menuju tingkat kesempurnaan dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan
membersihkan diri sifat-sifat tercela.
3.
Memandang dunia ini hanya
sebagai bagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka.
Al-Ghazzali kemudian mengutip definisi tasawuf dari beberapa tokoh tasawuf yang
hampir secara seragam mengatakan bahwa sufisme ditegakkan di atas al-Qur'an dan
as-Sunnah dengan begitu, sebetulnya nilai-nilai yang terkandung dalam sufisme
adalah nilai-nilai Islam yang bertumpu pada 2 hal:
a.
Zuhud[5]
Istilah sufi – seperti
yang dinyatakan di muka – muncul belakangan. Sebelum itu, orang yang
mempraktekkan sufisme disebut zahid (yang zuhud). Imam Ahmad bin Hanbal,
yang terkenal sebagai fakih yang agak “formalis”, bahkan menuliskan akhbar dari
atsar yang menunjukkan sufisme , dengan judul Kitab az-Zuhd.
Zuhud bukan asketisme daslam artian “keadaan atau corak kehidupan yang dijalani
orang yang menolak masalah-masalah duniawi”, atau mazhab pemikiran yang
meletakkan semua tekanan pada segi-segi bendawi kehidupan manusia. Tetapi,
zuhud adalah asketisme dalam artian kehidupan sederhana berdasarkan motif
keagamaan. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan tiga tahap zuhud: meninggalkan
segala yang haram (zuhud orang awam), meninggalkan hal-hal yang berlebihan
dalam perkara yang halal (zuhud orang khawwash), dan meninggalkan apa
saja yang memalingkan diri dari Allah (zuhud orang ‘arifin). Bila
definisi Imam Ahmad saja yang kita pegang, maka kita dapat menjabarkan beberapa
nilai derivative darinya yang kondusif untuk usaha-usaha menghilangkan
kemiskinan. Meninggalkan hal-hal yang haram menuntut orang mencari kekayaan
secara tulus lewat kerja keras, meninggalkan suap (yang menurut Rasulullah SAW
menimbulkan laknat Allah kepada si penerima dan si pemberinya), menghindari
hal-hal yang merugikan orang lain, dan menciptakan pekerjaan yang mempunyai
nilai sosial yang tinggi. Orang miskin akan kehilangan motif untuk memperbaiki
nasibnya, bila ia tahu bahwa bukan kerja keras yang menentukan keberhasilan
usahanya, tetapi kemampuan untuk memperoleh fasilitas dengan jalan yang tidak
legal. Dalam suatu masyarakat yang menghalalkan segala cara, orang miskin akan
selalu menjadi kelompok yang paling dirugikan. Semangat wiraswasta yang tinggi
hanya akan berakhir dalam frustasi, bila orang tahu bahwa koneksi dan tindakan
curang, dan bukan ketulusan dan kejujuran, lebih menguntungkan; bila orang
melihat bahwa lebih mudah meraih kekayaan lewat kekuasaan daripada lewat
keterampilan dan kerja keras.
Menghindari ha-hal yang
berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan
menghindari keberlebihan, kemewahan, atau pemilikan harta yang lebih bernilai
sebagai promotor status daripada sebagai kekayaan yang produktif. Zuhud
melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang
produktif. Zuhud juga mendorong untuk mengubah harta bukan saja sebagai assets
yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga assets sosial (dalam artian
menolong mereka yang berada dalam kesempitan).
Betulkah berbagai sikap
yang tercermin dalam zuhud membebaskan orang dari kemiskinan? Beberapa
penelitian ilmiah mengiyakan pertanyaan ini. Tesis Max Weber tentang etika
Protestan pernah direplikasi di beberapa tempat dengan latar belakang agama
yang berlainan. Pieris menemukan bahwa di India orang-orang Sikh berhasil
merebut posisi ekonomis yang menguntungkan, karena ajaran Sikh menggabungkan
kerja keras dan kesederhanaan. Nevaskar pernah meneliti keberhasilan kaum
Quaker di Amerika dan kaum Jain di India. Kedua kelompok beragama ini mempunyai
empat nilai yang sama: pasivisme, zuhud, kejujuran, dan berusaha secara halal (fair
dealing). Mereka melarang membelanjakan kekayaan untuk sekadar pamer (display)
atau kemewahan (Self-indulgence). Secara ekonomis, kedua kelompok ini
kemudian memang berhasil. Martindale mengomentari analisis Nevaskar sebagai
berikut:
“Bila tidak perlu
berasumsi bahwa religiusitas mereka secara eksklusif disebabkan oleh
praktek-praktek ekonomi mereka, atau praktek-praktek ekonomi mereka secara
eksklusif disebabkan oleh religiusitas mereka. Namun demikian, keterhubngan dua
komponen hidup ini tak bisa dipertanyakan. Hubungan ini tampak berkembang dalam
bentuk spiral saling menguatkan sejalan dengan berlalunya waktu, meningkatkan
solidaritas dan efektivitas masing-masing kelompok dalam konteks
masyarakat-masyarakat luas mereka”
Geertz melihat pada
kelompok santri di Jawa, kecenderungan untuk gemi: berpakaian sederhana,
menghindari upacara mewah, dan bekerja keras. Kata Geertz, ini menyebabkan
kelompok santri relatif lebih kaya dibandingkan kelompok. Abangan.
b.
Al-Itsar
Perkataan itsar
diambil dari ayat al-Qur'an: “dan mereka mendahulukan (yu’tsiruna) orang
lain atas mereka sendiri, walaupun mereka dalam keadaan payah”. Dalam
prakteknya, itsar tercermin dalam perhatian yang tulus (great concern)
kepada orang-orang yang mendapatkan kesulitan, orang-orang yang mendapatkan
musibah, atau orang-orang yang teraniaya. Di kalangan ahli tasawuf beredar
cerita tentang keutamaan beramal yang meringankan penderitaan orang lain, yang
ganjarannya melebihi ibadah-ibadah ritual. Misalnya kisah tentang Abdullah bin
Mubarak, yang mengesahkan tukang sepatu yang diterima ibadah hajinya, walaupun
tidak berangkat ke Makkah, hanya karena ia menyerahkan ongkos hajinya untuk
menolong keluarga yang miskin; atau cerita tentang murid al-Junaid yang ditolak
menemui gurunya, karena ia menghabiskan ongkos di perjalanan untuk menemui
gurunya, padahal ia dapat menggunakan uang itu untuk membela orang-orang
miskin.
Bila zuhud mempunyai lebih
banyak titik berat pada dampak perseorangan, al-itsar mempunyai dampak
sosial. Sikap menyantuni kaum yang lemah, mendorong orang untuk melakukan
tindakan yang mencerminkan solidaritas sosial. Ada orang mengkritik sikap ini sebagai sikap
yang tidak membantu menyelesaikan persoalan, karena hanya bersifat karitatif,
tetapi si pengkritik tidak melihat bahwa bersamaan dengan kecintaan kepada
orang miskin ada sikap lain yang berkaitan, yaitu sikap menahan diri untuk
hidup mewah. Banyak hadis Nabi SAW menyuruh kita mencintai orang-orang miskin,
akrab bergaul dengan mereka, dan menunjukkan kepada kita keutamaan orang
miskin. Perintah seperti itu bukan saja melahirkan tindakan karitatif, tetapi
juga kesediaan untuk menghindari hal-hal yang mewah di saat saudara-saudaranya
sesama Muslim dalam keadaan berkekurangan.
Sayyidina Ali berkata dalam maqalahnya
“Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku
akan membunuhnya” yang menarik ialah kenyataan bahwa pernyataan perang terhadap
kemiskinan dikeluarkan oleh seorang sahabat yang dianggap terkenal sederhana,
bahkan ia terkenal dengan hidup sufi. Ali, di kalangan ahli tasawuf terkenal
sebagai tajul arifin (mahkota orang-orang yang sudah mencapai ma’rifat). Dialah
khalifah yang merintih di malam hari, menjatuhkan talaq 3 kepada dunia dan
mengecam dunia sebagai tipu daya yang membinasakan. Dia jugalah yang menaruh
perhatian begitu besar untuk memperbaiki nasib orang-orang miskin. Sehingga
Abdurrahman al-Syarqani menulis riwayat hidupnya dengan judul Ali: Imam
al-Masakin.[6]
IV.
Sumbangsih Sufisme
Terhadap Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah ilmu
pengetahuan Islam, al-Farabi adalah sufi yang brilian. Ia konon membaca buku
fisika Aristoteles 40 kali, dan De Anima-nya Aristoteles 200 kali. Ia
menulis Ihsha al-‘Ulum, ensiklopedia sains yang pertama. Ia menulis Madinah
al-Fadhilah, buku sosiologi dan politik. Al-Farabi adalah seorang raksasa
dalam sins Islam, tetapi hal itu tidak menghambatnya menjadi sufi. Ibnu
Khalikan melukiskan al-Farabi sebagai berikut, “ia adalah orang yang paling
mengabaikan hal-hal duniawi. Ia tidak pernah memusingkan urusan kehidupan dan
tempat tinggal”. Salah seorang murid al-Farabi mendirikan kelompok pecinta ilmu
pengetahuan di Baghdad
pada tahun 970. Kelompok ini menghidupkan tradisi intelektual yang mulai
terancam di zaman itu. Tiga belas tahun kemudian, mungkin terilhami oleh
kelompok murid al-Farabi ini, di Basrah berdiri Ikhwan al-Shafa (saudara
ketulusan) yang ingin memperbaiki umat Islam, menyucikan mereka secara moral,
spiritual dan political. Ikhwan al-Shafa adalah semacam gerakan sufi yang
sekaligus juga gerakan ilmu pengetahuan. Mereka berkumpul, berdiskusi, dan
merekam pembicaraan mereka dalam 51 risalah yang disampaikan kepada kita. Dalam
risalah itu, mereka bukan saja membicarakan tauhid, akhlak, dan kesucian, tapi
juga mendiskusikan gelombang suara, gerhana, kimia, dan fenomena alam lainnya.
Mereka bukan saja mengulas dialektika Socrates, tetapi juga kezuhudan Ali bin
Abi Thalib.
Melihat kenyataan di atas,
secara hipotesis di sini berani dikatakan, bahwa makin terbenam orang dalam pekerjaan
intelektual, maka rindu ia kepada kehangatan mistikisme. Kegersangan
rasionalisme malahan mendorong orang untuk mencari keseimbangan dengan
menghadirkan sufisme.
Benarkah sufisme
mengabaikan kehidupan?
Hal paling menonjol dalam
argumentasi yang menentang sufisme adalah uzlah, yang dianggap ciri khas
sufisme. Sufisme menjauhi dunia, mati sebelum mati, hidup di langit sambil
menginjak bumi. Seorang bekas Syaikhal-Azhar – Abdul Halim Mahmud – memberikan
bukti-bukti bahwa beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan
cukup sukses.
Secara politik, sejarah
juga mencatat gerakan-gerakan sufi yang menimbulkan perubahan sosial dan
politik. Dari Khurasan, gerakan sufi telah menimbulkan pemberontakan yang
menyumbangkan dinasi Umayyah, dan menegakkan dinasti Abbasiah. Gerakan Imam
Mahdi di Sudan, yang memporakporandakan pasukan Jenderal Gordon, juga gerakan
sufi. Gerakan Sanusiah di Afrika Utara adalah gerakan pembaru sosial yang
sangat “sufi”; begitu juga Ikhwan al-Muslimun di Mesir yang didirikan oleh
Hasan al-Banna, Sartono, ahli sejarah Indonesia, mencatat bahwa gerakan-gerakan
protes di pedesaan di Jawa diwarnai oleh sufisme. Jansen, dalam The Militant
Islam, melukiskan peran sufisme dalam gerakan Islamisasi di Afrika.
Terakhir, di Uni Soviet, Islam mulai bangkit lewat gerakan-gerakan sufi yang
sukar dijangkau oleh agen-agen KGB. Berdasarkan beberapa contoh di atas,
kesimpulan bahwa sufisme melahirkan pasivisme masih harus dipertanyakan.
Seperti yang akan diuraikan selanjutnya, saya bahkan beranggapan bahwa beberapa
nilai dasar dalam sufisme bahkan melahirkan dinamisme dan militansi.[7]
V.
Penutup
Tasawuf yang dipraktikan
dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif dan impresif untuk
menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi, apa pun zamannya atau bagaimanapun
gejolak di dunia ini, semua akan dihadapi dengan pikiran yang jernih, suasana
hati yang dingin, obyektif, dan penuh ketenangan (thuma’ninah).
Sebaliknya, justru kaum sufi yang terbiasa dengan kehidupan nyata, walau
hatinya telah melampaui kenyataan lahiriah, akan melihat dinamika kehidupan ini
secara proporsional. Kita tahu dalam sejarah, bagaimana pergumulan nyata
kalangan sufi yang mampu menyeimbangkan kehidupan nyata dengan kebutuhan
spiritual. Umar ibn Abdul Aziz yang layak disebut sufi adalah seorang pemimpin,
seorang khalifah, yang patut diteladani. Jabir ibn Hayyan yang juga sufi,
adalah seorang ilmuwan yang berhasil. Demikian pula Syaikh Fariduddin
Al-’Aththar, sufi yang sukses dalam berdagang. Artinya, di sini, bahwa kesufian
seseorang tidak akan menghalangi aktifitas mereka sehari-hari sebagai manusia
biasa yang butuh pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita
kemanusiaan.
Nabi bersabda:
اعمل لدنياك كأنك تعيش ابدا واعمل
لاخرتك كأنك تموت غدا
Masih banyak contoh lagi
yang menggambarkan kehidupan kaum sufi. Dan semuanya menunjukkan satu bentuk
idealisme yang patut dicontoh sebagai bagian dari pergumulan mereka menghadapi
riak-riak zaman. Kenyataan ini tentunya tidaklah ganjil. Soalnya, mereka bisa
mengimbangi dengan proporsional antara ilmu, amal, dan kesucian hati (tashfiyatu-l-qalb).
Ilmu dan amal yng tidak diimbangi dengan kebersihan hati yang diproses melalui
pelatihan sufistik – bagi kalangan sufi – akan dipandang sia-sia belaka. Dalam semangat
seperti inilah, al-Qur'an menyatakan secara tegas, Dan agar orang-orang yang
telah diberi ilmu, meyakini bahwasannya al-Qur'an itulah yang hak dari tuhanmu,
lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah
adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus
(al-Hajj: 54)
والله
اعلم بالصواب
DAFTAR
PUSTAKA
Aceh, Abu
Bakar, Perbandingan Madzhab; Syiah, Rasionalisme dan Iman, Semarang:
Ramadhani, 1980
Alberry,
A.J. Sufism an Account of The Mystics of Islam. diterjemahkan B.
Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985
al-Ghazzah,
Muhammad. Rakaiz al-Imam Baina al-Aql wa al-Qalb, Kuwait:
Maktabah al-Amal, 1967
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. 1986
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial.
Mizan. 2006
§ Makalah ini dipresentasikan pada diskusi
antar siswa program pasca sarjana (PPS) IAIN Sunan Ampel Surabaya mata kuliah
Sejarah Pemikiran Islam di bawah bimbingan Dr. Husen Aziz
[1]
Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Mizan, 2006, hal. 36
[2]
A.J. Alberry, Sufism an Account of The Mystics of Islam, diterjemahkan
B. Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985, h. 8
[3]
al-Shafa adalah semacam gerakan sufi yang sekaligus juga gerakan ilmu
pengetahuan kelompok ini berdiri di Basrah.
[4]
Muhammad al-Ghazzah, Rakaiz al-Imam Baina al-Aql wa al-Qalb, Kuwait:
Maktabah al-Amal, 1967, h. 167
[5]
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, 1986, h. 102
[6]
Abu Bakar Aceh, Perbandingan Madzhab; Syiah, Rasionalisme dan Iman, Semarang: Ramadhani,
1980, h. 48
[7]
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, 1986, h. 97