Oleh : Aisyah Izzah Billah Ajhury
A.
LATAR BELAKANG
HISTORIS DAN BIOGRAFI SINGKAT AL GHOZALI
Lahirnya berbagai pemikiran dan
gagasan dari sosok besar Al-Gazali, yang dikemudian hari menjadi pewarna bagi
corak intelektualitas didunia muslim, tidak dapat dipisahkan dari kondisi atau setting
sosio-historis yang melingkupinya. Kondisi social penting dimaksud, yang
terjadi beberapa tahun sebelum kelahirannya hingga masa ia dilahirkan, akan
diuraikan berikut ini.
Diperkirakan bahwa, periode masa munculnya
al-Gazali berlangsung pada periode Abbasiyyah kedua. Pada saat menjelang
kelahirannya, pengaruh Dinasti ‘Abbasiyyah sudah tidak begitu dominan dan
bahkan sudah sangat lemah. Kekuasaan Dinasti Abbasiyyah sudah tidak ada yang
tersisa lagi ditangan para khalifahnya, kecuali hanya kekuasaan nominal belaka.
Keuasaan yang mendominasi secara factual pada dasarnya berada ditangan dinasti
saljuk, kekuasaan dinasti ini membentang dari Wilayah Khorasan, Rayy, Al-Jibal,
Iraaq, Al-Jazirah, Persia dan Ahwaz.1 Sejarah singkat atas
kemunculan Dinasti ini dapat digambarkan beberapa tahun sebelum kelahiran al-Gazali.
Tiga tahun sebelum lahirnya Sang Hujjah al Islam ini,
tepatnya1055, dominasi rezim Dinasti Buayhiyyah Syiah atas kekhalifahan Sunni
di Baghdad berakhir dengan tampilannya Saljuk Turky yang dikomandoi oleh Tugrul
Beg (w. 1063). Sebelumnya, Tugrul Beg juga menaklukan sebagai besar provinsi
sebelah timur dinasti Abbasiyyah,diantarnya ialah Persia timur yang direbutnya
dari Dinasti Gaznawiyyah Turky dan Persia Barat dari Dinasti Buwayhiyyah itu
sendiri. Baghdad, yang masih merupakan pusat dunia islam, oleh karenanya,
berada dibawah kendali komandan Beg. Akibatnya, Beg dianugerahi gelar “Raja
timur dan barat” ( king of the East and of the west) oleh Sultan Al-Qaim
(w. 1075).2 khalifah yang berkuasa saat itu. Setelah Beg meninggal,
ia digantikan oleh keponakannya, Alparslan, yang menjadi saljuk agung I.3
Saljuk adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh orang-orang Turky Oghus atau
Ghuzz yang berrasal dari daerah Setepa Kirgiz
di Turkistan. Disekitar abad ke – 11, salah seorang diantara pemuka –
pemuka suku ini. Yang bernama saljuk,
memeluk islam.4 begitu besarnya pengaruh saljuk dikalangan suku dan
masyarakatnya, maka namanya pun diabadikan menjadi nama dinasti yang
dikuasainya. Saljuk dikemudian hari menjadi dinasti yang besar dan menguasai
banyak wilayah.
Satu satunya tantangan serius bagi
bangsa atau Dinasti Saljuk dalam mengukuhkan supremasinya berasal dari Dinasti
Fatimiyyah
di Mesir yang
pada saat yang sama, menguasai sebagian besar Afrika Utara dan Syiriya.
Keberadaan Dinasti Abbasiyyah yang beribu kota di Baghdad sebenarnya masih
dikuasai namun sang khalifah tidak lebih dari sekedar sebuah symbol spiritual
kepemimpinan islam sunny. Karena itu, Dinasti Abbasiyyah ini tidak dianggap
sebagi tantangan bagi perkembangan teritorial Dinasti Saljuk melainkan hanya
dinasti Fatimiyyah. Dalam pada itu Alparsan terus memperluas dominasinya pada
wilayah wilayah lain, dengan merampas teritorial teritorial baru di Asia kecil
dari tangan orang Bizantium dan memaksa
penguasa Aleppo melepaskan pengaruh kekuasaan dinasti Fatimiyyah, yang (Syiah)
Isma’iliyyah, supaya masuk kedalam pengaruh kekuasaanya sendiri. Kekuasaan
Saljuk mencapai puncaknya pada masa Malik Syah (putra Alparslan, w. 1092), yang
kekuasaannya membentang dari Asia tengah dan perbatasan India hingga laut
tengah, dan dari kaukasus dan laut Arial hingga Teluk Persia, dengan sedikit
kekecualian control atas kota makkah dan madinah, dengan wazirnya yang terkenal Nizam Al-Mulk
(1063-1092).5 masa hidup Al-Gazali yang meninggal pada 1111,
karenanya, hampir bertepatan dengan periode singkat – namun secara politis
menampakkan perubahan dalam sejarah dunia islam- yang memperlihatkan kemunculan
dan perluasan Dinasti Saljuk. Al-Gazali juga sempat hidup menyaksikan
kemunduran tajam dinasti ini, menyusul pembunuhan atas Malik Syah pada 1092.6
Walaupun
sepanjang pemerintahannya, kedaulatan Saljuk banyak mencurahkan perhatiannya
pada aktivitas-aktivitas politik dan militer, para penulis biografi dan sejarah
muslim umumnya mengatakan bahwa sumbangan positif dinasti ini kedalam sejarah
dan peradaban Islam adalah pendirian perguruan – perguruan (madrasah)
untuk perguruan tinggi.7 sebelumnya, pendidikan islam tidak
diselenggarakan pada suatu tempat khusus secara terpadu, melainkannya hanya
dilaksanakan di masjid-masjid, rumah-rumah dan
sebagainya. Pernyataan bahwa dinasti ini memelopori tumbuh-kembangnya
tradisi pendidikan bertaraf tinggi dalam dunia islam, dapat didukung dengan
fakta historis. Saljuk banyak berhubungan dengan persoalan-persoalan dalam
bidang keilmuan dan teologi. Al-Gazali sendiri sebagai sosok ilmuwan,
mendapatkan kedudukan dan reputasi yang tinggi dalam dinasti ini. Al-Gazali
juga bahkan dikenal sebagai pembela ilmiyah dinasti ini.
Penguasa-penguasa Saljuk,
seperti juga Al-Gazali, menganut madzhab Syafi’yah dalam hukum, fiqih dan
bermadzhab Asya’riyyah dalam teologi. Akibatnya, dibawah kepemimpinan para
penguasa penganun Madzhab yang sama “ si cerdas Al-Gazali kelak menikmati
segala kehormatan. Tokoh politik terpenting yang dihubungkan dengan keilmuwan
Al-Gazali adalah Nizam Al-Mulk, seorang wazir (setingkat perdana menteri), yang
memangku jabatan selam sekitar 30 tahun sejak masa pemerintahan Alparslan
sampai pada pemerintahan Malik Syah. Ia menstabilkan saljuk dan sukses
meredakan ketegangan atau konflik keagamaan yang sebelumnya terjadi secara
tajam antar berbagai Madzhab fiqih dan kalam.8
Pada pemerintahan Tugrul Beg, melalui wazirnya, al-Kunduri, Asy’ariyyah
dikutuk, dimana al-Juwayni (w. 1085), tokoh termuka Asy’ariyyah-dan salh
seorang guru utama Al-Gazali – diusingkan ke Makkah dan Madinah. Maka ole Nizam
Al-Mulk, keputusan ini dibalikkan, dan mengadopsi Asy’ariyyah sebagai madzhab
resmi saljuk. Al-Mulk mendirikan sekitar selusin madrasah (kolese) yang
dicontoh dari institusi-institusi Syiah tersebut, Madrasah Nzjamiyyah justru
mengesampingkan ilmu-ilmu filosofis dan lebih mempromsikan ilmu-ilmu agama
seperti fikih dan kalam.9
Kondisi polotik dan stabilitas dalam
dinasti saljuk sempat terganggu lantaran oleh suatu gerakan politik yang
berkedok agama, Batiniyyah. Gerakkan yang merupakan pecahan dari sekta Syi’ah
Isma’iliyyah yang berasal dari bani Fatimiyyah di Mesir ini dipimpin oleh Hasan
as-Syabah. Daerah pusat gerakannya berada di Alamut (utara quzwin). Dalam
melakukan usahanya, gerakan ini tidak sengan-sengan melancarkan pembunuhan
terhadap tokoh-tokoh saljuk dan ulama’ yang dianggap menghalangi gerak langkah
mereka. salah seorang korbannya yang besar ialah Nizam Al-Mulk, yang terbunuh
pada 1092. Gerakan ini baru dapat dihancurkan oleh Tartar dibawah kepemimpinan
Hulagu pada 1256.10
Disamping
penggangguan dari Batiniyyah, kematian Nizam Al-Mulk, disusul kematian Malik
Syah, dan pertengkaran diantara putra-putra Syah ini: Mahmud, Burqiaruq, Sanjar,
dan Muhammad- yang kemudian dimenangkan oleh Burkiyaruq- menjadikan Dinasti
Saljuk guncang. Bahkan, pertikayan memperebutkan kekuasaan ini kembali mencuat
menyusul kematian Bulqiaruq pada 1004. Putra Burqiaroq yang juga bernama Malik
Syah, memproklamirkan diri sebagai sultan melalui pengumuman di masjid - masjid
wilayah timur di Baghdad. Tetapi sekitar sebulan kemudian, pamannya, Muhammad
ibn Malik Syah, juga memaklumkan diri raja di masjid-masjid sebelah barat
Baghdad.
Kondisi
perebutan kekuasaan terakhir ini tidak disaksikan secara langsung oleh
Al-Gazali, karena pada saat yang sama,
ia telah meninggalkan Baghdad. Sekembalinya dari makkah,Al-Gazali hanya
menyaksikan bahwa Muhammad ibn malik syah telah menjadi raja. Kendati demikian ,pakar-pakar
sejarah mensinyalir bahwa selama Al-Gazali tinggal Di Makkah, ia mengetahui
semua kemelut kekuasaan yang terjadi ditubuh dinasti tersebut.
Demikianlah, sekelumit tentang kondisi social
politik dan keilmuwan teologis yang merupakan setting historis yang melatar
belakangi, seorang Al-Gazali, yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu
Muhammad at-Tusi Al-Gazali ini, dilahirkan pada 450 H/1058 M. di Tus, Khurasan.
Sebelum lahirnya, daerah tersebut telah melahirkan pribadi-pribadi ternama
seperti penyair Firdausi (w. 1025) dan Negarawan Nizam Al-Mulk seperti yang
telah dipaparkan dimuka, memainkan peran menonjol dalam kehidupan intelektual
Al-Gazali.11
Lingkungan pertama yang membentuk
“kesadaran” Al-Gazali adalah lingkungan keluarganya sendiri. Informasi tentang
keluarganya tidak banyak ditemukan. Namun, jelas bahwa keluarga ini adalah
keluarga yang taat menjalankan agama. Ayahnya adalah seorang penenun wol
ekonomi sederhana tetapi religius dalam sikapnya. Ia suka mendatangi diskusi –
diskusi para ulama menyumbang dana untuk kegiatan mereka sesuai dengan
kemampuannya.12 Ia sangat mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang
selalu memberi nasihat kepada umat.13 Ayahnya meninggal ketika
Al-Gazali dan saudaranya Ahmad (w. 1126)14 masih kecil. Sebelum
meninggal, Al-Gazali dan Ahmad dititipkan pada salah seorang teman ayahnya,
seorang Sufi yang hidup sangat sederhana, Ahmad ar Razkani.15 Suasana
sufistik ini menjadi lingkuangan kedua yang turut membentuk “kesadaran” AL-GAZALI.
Suasana dalam kedua lingkungan ini dialaminya selama ia menetap di Tus, diperkirakan
sampai AL GAZALI berusia 15 tahun (450-465 H).16 tentang ibunya,
Margereth Smith mencatat bahwa ibunya masih hidup dan berada di Baghdad ketika
ia dan saudaranya , Ahmad, sudah menjadi terkenal.17
Pengembaraan Al-Gazali dimulai pada usia 15
tahun. Pada usia ini, Al-Gazali pergi ke Jurjan untuk berguru pada Abu Nasr
al-Isma’ili. Pada usia 19 atau 20 tahun , Al-Gazali pergi ke Nisabur,dan
berguru pada al - Juwaini hingga ia berusia 28 tahun.selama di madrasah Nisabur
ini, al - Gazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat. Menurut Ibn
Khallikan, di bawah bimbingan gurunya itu, ia sungguh-sungguh belajar dan
berijtihad sampai benar-benar menguasai berbagai persoalan mazhab-mazhab, perbedaan
pendapatnya, perbantahannya, teologinya, usul fikihnya, logikanya, dan membaca
filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengannya, serta menguasai berbagai pendapat tentang
semua cabang ilmu tersebut. Al-Gazali juga mampu menjawab tantangan dan
mematahkan pendapat lawan-lawannya mengenai semua ilmu tersebut, serta mampu
menulis karya-karya yang paling baik dalam semua bidang itu, yang semuanya
diwujudkan dalam waktu yang relatif singkat.18 Selain disiplin-disiplin diatas,disiplin studi
lain yang “merampas” pikiran al-Gazali selama tinggal di Nisabur adalah
Sufisme. AL-Gazali memplajari teori dan praktiknya dibawah bimbingan AL-Farmazi
(w.477H).19 Pada saat itu,Al-Gazali
mungkin telah pula di perkenalkan dengan klaim Ta’limiyyah atau Isma’iliyyah, yang
menyatakan bahwa mereka (para pendukungnya)merupakan satu- satunya pengajaran (at-ta’lim)otoritatif
dan penerima hak istimewa pengetahuan yang di peroleh dari Imam Ma’sum (bebas
berdosa). Tetapi pandangan yang umumny diterima adalah bahwa Al-Gazali
belum mulai mempelajari doktrin dan ajaran Ta’limiyah hingga al-Mustazir menjadi khalifah pada
1094.20 namun demikian,
al-Gazali sendiri menginformasikan bahwa sebagian klaim Ta’limiyah sudah
diketahuinya sebelum perintah khalifah datang.21 kenyataannya ia
memiliki waktu yang panjang untuk coba mengetahui dan mendalami posisi para
kelompok Ta’limiyah tersebut.
Sepeninggal al-Juwayni, Al-Gazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu
menjadi gudang para sarjana. Disinilah
ia berjumpa dengan Nizam al-Mulk. Kehadiran Al-Gazali disambut baik oleh Wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa
oleh karena itu kedalaman ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan
keunggulannya. Dengan demikian, jadilah Al-Gazali “Imam” di wilayah khurasan
ketika itu.22 Ia tinggal di kota Mu‘askar ini hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran Al-Gazali dalam
bidang fiqih, teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam Al-Mulk mengangkatnya menjadi
“guru besar” telogi dan “Rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah
didirikan pada 1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484/juli 1091. Jadi, saat menjadi
guru besar ( Professor ), al- Gazali baru berusia 34 tahun.23
Selama tinggal di Baghdad, Al-Gazali
meniti karir akademiknya hingga mencapai kesuksesan dan mengantarkannya menjadi
sosok atau tokoh terkenal di seantero Irak. Selama 4 tahun, ia mengajar sekitar
300-an siswa - Ulama, termasuk diantaranya beberapa pemuka Mazhab Hambali
semisal ibn ‘Aqil dan Abu Al- Khattab; suatu hal yang amat langka terjadi pada
saat permusuhan antar Mazhab sangat runcing pada masa itu. Karenanya, dengan cepat
al-Gazali menjadi terkenal di Irak, hampir saja
mengalahkan popularitas penguasa dan panglima di Ibukota ‘Abbasiyyah.24
dalam waktu yang sama , secara otodidak , ia mempelajari filsafat dan menulis
beberapa buku. Dalam tempo kurang dari dua tahun, ia sudah menguasai filsafat
Yunani, terutama yang sudah diolah oleh para filsuf muslim (falasifat)
semisal al-Farabi (870-950). Ibn sina (980-1037), ibn Miskawayh (936-1030), dan
al-Ikhwan as-Safa.25
Penguasaannya
dibidang filsafat ini di buktikannya dengan peluncuran karyanya, Maqosid al-Falasifah. Buku ini
berisikan uraian tentang logika, metafisika, dan fisika.26
kemampuannya dibidang ini diselaraskannya dengan misi penguasa dan ulama, yakni
mengantisipasi pengaruh filsafat yang dianggap berbahaya bagi agama. Karenanya,
ia melunurkan karya keduanya dibidang ini, Tahafut al-Filasifah, sekalipun
karya kedua ini dimaksudkan untuk menunjukkkan berbagai kesesatan atau
inkhoherensi dalam filsafat itu sendiri . Namun, , menarik untuk dicermati
bahwa pengutukan al-Gazali terhadap filsafat ini pada saat yang sama,
sebetulnya ikut memperkenalkan filsafat itu sendiri kepada masyarakat. Sebab,
al-Gazali menjelaskannya secara rinci kepada mereka yang bukan filsuf.27 Reputasinya
dibidang filsafat ini menambah tenar popularitasnya, sebab ketika itu, belum
perna ada seorang teologpun yang mampu menghantam pemikiran para filsuf dengan
senjata mereka sendiri. Kemampuan
al-Gazali dibidang ini ternyata juga disadari secara baik oleh Khalifah
Al-Mustazhir bi Allah. Karena itu, khalifah ini memintaya untuk menulis sebuah
karya khusus yang bertujuan untuk menghantam aliran batiniyyah yang ketika itu
sedang gencar gencarnya mengganggu stabilitas politik nasional. Maka lahirlah
karya Fadaih al-Batiniyyah wa Fadail
al-Mustazhiriyyah.28 Dalam
pada itu, kendati al-Gazali tampak banyak mencurahkan perhatiannya pada
filsafat, ia masih tetap mendalami bidang fiqih dan kalam, dan menghasilkan
pula karya karya berkualitas dibidang bidang ini, seperti al-Wajiz,
al-Wasit, al-Basit, dalam bidang fiqih
dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad Dlam bidang kalam .29 Dengan
demikian, al-Gazali merupakan sosok intelektual yang menguasai banyak lapangan
intelektual, disamping berhasil pula
menyelaraskan kehidupan intelektualnya dengan aspirasi penguasa. Sehingga, wajar
kalau ia memperoleh popularitas disamping pula kemewahan.30 Pada saat-saat inilah al-Gazazali
mencapai puncak kariernya.
Namun pada 1095,
al-Gazazali secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad. Dia
meninggalkan posisi strategis akdemik politik yang demilian memuncak ini
dengan segala popularitas yang menyertainya. Dia bahkan juga meninggalkan
keluarga dan kemewahan dan menuju Damaksus untuk menjalani suatu kehdupan yang
sama sekali lain dari pada kehidupannya selama ini. Al - Gazazali menempuh
suatu kehidupan sebagai seorang Sufi yang fakir dan Zuhud terhadap dunia. Dalam
kehidupannya sebagai seorang sufi, lahirlah sebuah karya fenomenal yang
berjudul “ IHYA’ ULUMUDDIN “ yang salah
satu pembahasannya adalah tentang Ilmu dan ulama’ .
B.
BEBERAPA PENDAPAT TENTANG DEFINISI DAN
CIRI-CIRI ULAMA’
1. Ibnu
Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak
menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak
menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah
orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu)
tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat
lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan
tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah
sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.”
2. Ibnu
Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak
mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak
serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi
As-Sunnah.”
3. Ibnu
Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada
diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui
ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai
mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”
4. Mereka
berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang
diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ
الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan
orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada
jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)
5. Mereka
adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah
Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ
يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah
permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)
6. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum)
dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ
أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنًهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلَ
اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطاَنَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Apabila
datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan
rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali
sedikit saja.” (An-Nisa: 83)
7. Mereka
adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan
perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
قُلْ آمَنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ
أَوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذِا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ
لِلأًذْقاَنِ سُجَّدًا.
وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحاَنَ رَبِّناَ إِنْ كاَنَ وَعْدُ
رَبِّناَ لَمَفْعُوْلاً.
وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقاَنِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ
خُشُوْعاً
“Katakanlah:
‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka
bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya
Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]
Inilah
beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di
dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan
ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. [31]
C.
DIKOTOMI ULAMA’ MENURUT AL GHOZALI
..
|
Menurut
Al Ghozali, ulama’ adalah orang yang berilmu serta mengamalkan ilmunya
sebagaimana dijelaskan dalam hadits
Rasulullah “ Tidak disebut ‘Alim sampai dia mengamalkan Ilmunya.”
Imam Ghazali membagi ulama dalam dua kategori, 1.Ulama Akherat 2. Ulama Dunia(Ulama’ Su’) Yang pertama adalah ulama pewaris Nabi, warasat al-anbiya. Sedangkan yang kedua adalah Ulama su' (jahat). "Mereka inilah yang mempergunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan duniawi, termasuk menjadikannya tangga untuk meraih pangkat dan kedudukan. Sementara itu, ulama akherat adalah ulama yang sadar betul akan ilmu yang dimilikinya.
Imam Ghazali membagi ulama dalam dua kategori, 1.Ulama Akherat 2. Ulama Dunia(Ulama’ Su’) Yang pertama adalah ulama pewaris Nabi, warasat al-anbiya. Sedangkan yang kedua adalah Ulama su' (jahat). "Mereka inilah yang mempergunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan duniawi, termasuk menjadikannya tangga untuk meraih pangkat dan kedudukan. Sementara itu, ulama akherat adalah ulama yang sadar betul akan ilmu yang dimilikinya.
Ciri-ciri Ulama' Akhirat
Inilah
dia ulama yang haq, ulama pewaris Nabi. Yakni ulama yang benar-benar beramal
dengan Al Quran dan Sunnah. Disebut juga ulama al 'amilin. Umumnya mereka ini
banyak di zaman salafussoleh. Karana itu kita sebutkan mereka ulama
salafussoleh. Yang mana selepas generasi mereka, cukup sulit untuk dapatkan
ulama yang haq ini. Ada juga tetapi tidak banyak. Boleh dihitung dengan jari.
Mereka juga dinamakan 'ulama Akhirat' (karena mereka dapat menggunakan
kesempatan dunia untuk Akhirat). Sekaligus dunia tidak dapat menipu mereka. Di
Akhirat mereka akan jadi orang yang menang yakni jadi orang besar dan orang
kaya Akhirat, insya-ALLAH.
Merekalah yang mengambil tugas nabi-nabi di zaman tidak ada nabi. Mereka bagaikan obor di zamannya. Pribadi mereka adalah bayangan pribadi Rasulullah SAW. Berikut ciri-cirinya :
Merekalah yang mengambil tugas nabi-nabi di zaman tidak ada nabi. Mereka bagaikan obor di zamannya. Pribadi mereka adalah bayangan pribadi Rasulullah SAW. Berikut ciri-cirinya :
- Istiqomah aqidah, ibadah, akhlak dan dakwahnya, takutnya hanya pada Allah (QS Al Anbiya 28)
- Senangnya berjamaah ke masjid, lembut tutur katanya, bicaranya hikmah yang mengajak hijrah menuju Allah, tegas menyampaikan Haq, tampak sekali kerendahan hatinya, wajahnya murah senyum bercahaya,
- Ikhlasnya mengajar tanpa minta upah apalagi bertarif, “Ikutilah
mereka yang berdakwah yang tidak minta upah, merekalah hamba-hamba Allah
yang mendapat hidayah Allah” (QS Yasin 21) menerima upah dari
berdakwah juga tidak apa-apa asalkan tidak meminta-minta bayaran (pasang
tarif). Rasulullah bersabda : Dari Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya
ia berkata: “Umar bin Khattab ra mempekerjakanku untuk mengumpulkan
sedekah. Tatkala selesai dan telah aku serahkan kepadanya, ia
memerintahkan aku untuk mengambil upah.” Lalu aku berkata: ”Aku bekerja
hanya karena Allah, dan imbalanku dari Allah.” Lalu ia berkata: “Ambillah
yang telah aku berikan kepadamu. Sesungguhnya aku bekerja di masa
Rasulullah saw dan mengatakan seperti apa yang engkau katakan.” Lalu
Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Jika aku memberikan sesuatu yang tidak
engkau pinta, makanlah dan sedekahkanlah.” (HR.
Muslim).
Hadits di atas juga menunjukkan bolehnya menerima upah yang tidak dimintanya, karena upah ini memang sudah menjadi hak bagi seorang da’i. - “Tsiqqoh” kuat menjaga janji, “waro’” sangat takut dan berhati-hati dengan Hukum Allah
- Siang malam memikirkan umatnya, umatnyapun selalu ia sertakan dalam doanya terutama setiap tahajjudnya dipenghujung malamnya, iapun sibuk berikhtiar untuk keberkahan keluarga dan dakwahnya, keluarganyapun sakinah dan uswah hasanah, kuatnya shilaturahm
- Penghormatan pada perbedaan pendapat, memaafkan pada mereka yang menyakitinya, jauh dari sifat dengki bahkan ia senang untuk selalu belajar, mengaji dan berguru lagi (QS Ali Imran 79).
- Dakwahnya selalu berisi seruan untuk meraih kehidupan akhirat, tidak membicarakan bagaimana mendapatkan kesejahteraan dunia, sederhana dan menjaga jarak dengan penguasa.
- Tidak menganggap majilis yang beliau pimpin paling baik, tidak menjelek-jelekkan majilis yang dipimpin ulama' lain dan tidak memusuhi umat Islam yang berbeda pendapat karena mengingat Firman Allah Ta'ala.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara." (QS. Al Hujuraat: 10)
Ciri-ciri
Ulama' Dunia (Ulama' Su')
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan
“para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari
keberadaan mereka sebagaimana dalam sabdanya, “…
Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang
menyesatkan.” (H.R. Abu Daud dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu).:
- Sebaliknya, ulama dunia atau ulama su' selalu menginginkan kekayaan (hidupnya bermewah-mewah) dan kehormatan duniawi.
- Celakanya, mereka tidak segan-segan berkhianat pada hati nurani, asalkan tujuan mereka tercapai.
- Dalam kenyataannya, ulama tersebut bergaul bebas dengan raja-raja dan pegawai pemerintah, penguasa, serta memberikan sokongan moral terhadap tindakan mereka, tak perduli baik atau buruk.
- Terkait dengan ulama su', ada ilustrasi menarik yang dipaparkan Ibnu Mas'ud : "Kelak akan datang suatu masa tatkala hati manusia asin; ilmu tidak bermanfaat lagi. Saat itu, hati ulama laksana tanah gundul dan berlapiskan garam. Meski disiram hujan, namun tidak setets pun air tawar nan segar dapat diminum dari tanah itu."
- Dalam dakwahnya mereka membicarakan tentang meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia bukan bagaimana caranya meraih kesejahteraan di akhirat.
- Berdakwah jika hanya ada upahnya. Kalau tidak ada upah enggan untuk berdakwah.
Agar terhindar dari hasutan ulama' Su'
hendaknya kita senantiasa berdoa dan belajar Islam kepada para Ulama' Akhirat
dengan ciri-ciri diatas [32
REFRENSI
0 Response to "Dikotomi Ulama' menurut al Ghazali"
Posting Komentar