Menurut sebagian pendapat,
kata tasawuf diambil dari kata shafa, yang berarti jernih. Sedangkan
menurut sebagian yang lain, kata tersebut diambil dari kata shafwah yang
berarti orang-orang yang terpilih. Masih ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa kata tasawuf diturunkan dari kata shaf yang berarti baris atau
deretan. Pemaknaan ini mengandaikan para generasi muslim awal yang tegak
berdiri di baris pertama dalam ibadah maupun jalan para pelaku tasawuf disebut sufi
dan telah melewati rentang zaman yang sangat panjang.
Menurut sejumlah ulama,
seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah, apa yang disebut tasawuf
tidak lebih dari etika Islam. Oleh karena itu, tasawuf cukup diberi label
sebagai moralitas Islam saja. Dengan demikian, tujuan tasawuf dalam hal ini adalah
sama dengan tugas-tugas Nabi Muhammad SAW. “Tidaklah aku diutus kecuali untuk
menyempurnakan akhlaq.[1]
II.Hubungan Sufisme
dengan Kemiskinan
1.Benarkah Sufisme Penyebab
Kemiskinan?
Untuk sementara, sufisme
akan didefinisikan dengan mengambil definisi Alberry[2]
yang mengatakan bahwa sufisme merupakan gerakan mistisisme, maka ia berusaha mencari
pengetahuan dan kebahagiaan di balik yang material. Karena sufisme adalah
mistikisme maka secara epistimologis, sufisme adalah upaya untuk mencapai
ma’rifat lewat metode yang irasional. Dan karena sufisme adalah gerakan, maka
sufisme muncul dalam bentuk organisasi kerohanian yang menjalankan
praktek-praktek ritual dan etis tertentu (lazim disebut sebagai tarikat) dengan
definisi sementara ini, kita akan melihat beberapa dugaan tentang sufisme dalam
hubungannya dengan kemiskinan. Banyak orang beranggapan bahwa Islam mengalami keterbelakangan
karena menyebarnya sufisme di dunia Islam.
Seorang pemikir Islam
menuding al-Ghazali sebagai penyebab runtuhnya peradaban Islam dan terhentinya
kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Ghazali telah menyembelih ayam bertelur emas.
Kata pemikir ini, irasionalisme dalam sufisme memandulkan ilpeng (ilmu
pengetahuan). Ritualisme membuatkan umat terhadap problema kemasyarakatan.
Mistikisme menjauhkan mereka dari perjuangan hidup yang realistik. Sufi adalah
orang-orang yang menghancurkan Islam dari dalam dan menyerahkan hegemoni dunia
kepada orang-orang kafir.
Betulkah dakwaan itu?
Kalau kita menarik sejarah, sufisme justru tumbuh subur pada masa kejayaan
Islam. Pada zaman Abbasiah, ketika buku-buku Yunani diterjemahkan, dan ketika
universitas-universitas Islam tumbuh subur pada saat itu pula umat Islam
mengenal bintang-bintang sufi yang terkenal: al-Muhasibi, Dzun Nun al-Misri,
Abu Yazin al-Busthomi, al-Junaidi al-Baghdadi, Ahmad al-Kharraz, al-Hallaj dan
sebagainya bila ditelusuri lebih lanjut, kita akan menemukan bahwa sufisme
sebagai gerakan, mulai muncul ketika kekuasaan Islam sudah melebar ke separuh
dunia. Kelompok kaya mulai bermunculan. Beberapa sahabat Nabi SAW seperti Ibnu
Umar, Abu Dzar, Hudzaifah, mengkotbahkan nilai-nilai sufisme ketika kekayaan
mulai mengalir di dunia Islam dan ketika manusia telah sibuk bermegah-megahan
tanpa memikirkan orang-orang di sekelilingnya. Sufisme pertama kali timbul di
Basrah dan Kufah, di pusat-pusat kekuasaan Islam, di tempat didirikannya
bangunan-bangunan megah yang “menyakitkan hati” orang-orang yang saleh. Sebutan
“sufi” itu sendiri dinisbahkan kepada Abu Hasyim bin Syarik dari Kufah yang
terkenal karena kezuhudannya. Dari kedua kota
ini sufinya kemudian menyebar ke bagian lain di dunia Islam, terutama khurasan
(yang melahirkan Ibrahim bin Adham Abdullah bin mubarak dan sebagainya).
Melihat kenyataan ini dapat kita membalikkan pertanyaan di atas. Bukannya
disebabkan oleh kemiskinan, tetapi sufisme lahir sebagai akibat kekayaan.
III.Nilai-Nilai Sufisme
dalam Mengatasi Kemiskinan
Muhammad al-Ghozzali,
tokoh al-Ikhwan[3],
mengajak orang untuk kembali kepada kehangatan sufisme dengan bukunya “Rikaiz
al-Imam Baina al-Aql wa al-Qalbu.[4] Ia
membantu kita untuk mendefinisikan sufisme lebih terkini, sufisme ditandai 3
hal:
1.Berusaha menjadikan iman
yang bersifat aqli menjadi iman qalbi
2.melatih mengembangkan diri
menuju tingkat kesempurnaan dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan
membersihkan diri sifat-sifat tercela.
3.Memandang dunia ini hanya
sebagai bagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka.
Al-Ghazzali kemudian mengutip definisi tasawuf dari beberapa tokoh tasawuf yang
hampir secara seragam mengatakan bahwa sufisme ditegakkan di atas al-Qur'an dan
as-Sunnah dengan begitu, sebetulnya nilai-nilai yang terkandung dalam sufisme
adalah nilai-nilai Islam yang bertumpu pada 2 hal:
Istilah sufi – seperti
yang dinyatakan di muka – muncul belakangan. Sebelum itu, orang yang
mempraktekkan sufisme disebut zahid (yang zuhud). Imam Ahmad bin Hanbal,
yang terkenal sebagai fakih yang agak “formalis”, bahkan menuliskan akhbar dari
atsar yang menunjukkan sufisme , dengan judul Kitabaz-Zuhd.
Zuhud bukan asketisme daslam artian “keadaan atau corak kehidupan yang dijalani
orang yang menolak masalah-masalah duniawi”, atau mazhab pemikiran yang
meletakkan semua tekanan pada segi-segi bendawi kehidupan manusia. Tetapi,
zuhud adalah asketisme dalam artian kehidupan sederhana berdasarkan motif
keagamaan. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan tiga tahap zuhud: meninggalkan
segala yang haram (zuhud orang awam), meninggalkan hal-hal yang berlebihan
dalam perkara yang halal (zuhud orang khawwash), dan meninggalkan apa
saja yang memalingkan diri dari Allah (zuhud orang ‘arifin). Bila
definisi Imam Ahmad saja yang kita pegang, maka kita dapat menjabarkan beberapa
nilai derivative darinya yang kondusif untuk usaha-usaha menghilangkan
kemiskinan. Meninggalkan hal-hal yang haram menuntut orang mencari kekayaan
secara tulus lewat kerja keras, meninggalkan suap (yang menurut Rasulullah SAW
menimbulkan laknat Allah kepada si penerima dan si pemberinya), menghindari
hal-hal yang merugikan orang lain, dan menciptakan pekerjaan yang mempunyai
nilai sosial yang tinggi. Orang miskin akan kehilangan motif untuk memperbaiki
nasibnya, bila ia tahu bahwa bukan kerja keras yang menentukan keberhasilan
usahanya, tetapi kemampuan untuk memperoleh fasilitas dengan jalan yang tidak
legal. Dalam suatu masyarakat yang menghalalkan segala cara, orang miskin akan
selalu menjadi kelompok yang paling dirugikan. Semangat wiraswasta yang tinggi
hanya akan berakhir dalam frustasi, bila orang tahu bahwa koneksi dan tindakan
curang, dan bukan ketulusan dan kejujuran, lebih menguntungkan; bila orang
melihat bahwa lebih mudah meraih kekayaan lewat kekuasaan daripada lewat
keterampilan dan kerja keras.
Menghindari ha-hal yang
berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan
menghindari keberlebihan, kemewahan, atau pemilikan harta yang lebih bernilai
sebagai promotor status daripada sebagai kekayaan yang produktif. Zuhud
melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang
produktif. Zuhud juga mendorong untuk mengubah harta bukan saja sebagai assets
yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga assets sosial (dalam artian
menolong mereka yang berada dalam kesempitan).
Betulkah berbagai sikap
yang tercermin dalam zuhud membebaskan orang dari kemiskinan? Beberapa
penelitian ilmiah mengiyakan pertanyaan ini. Tesis Max Weber tentang etika
Protestan pernah direplikasi di beberapa tempat dengan latar belakang agama
yang berlainan. Pieris menemukan bahwa di India orang-orang Sikh berhasil
merebut posisi ekonomis yang menguntungkan, karena ajaran Sikh menggabungkan
kerja keras dan kesederhanaan. Nevaskar pernah meneliti keberhasilan kaum
Quaker di Amerika dan kaum Jain di India. Kedua kelompok beragama ini mempunyai
empat nilai yang sama: pasivisme, zuhud, kejujuran, dan berusaha secara halal (fair
dealing). Mereka melarang membelanjakan kekayaan untuk sekadar pamer (display)
atau kemewahan (Self-indulgence). Secara ekonomis, kedua kelompok ini
kemudian memang berhasil. Martindale mengomentari analisis Nevaskar sebagai
berikut:
“Bila tidak perlu
berasumsi bahwa religiusitas mereka secara eksklusif disebabkan oleh
praktek-praktek ekonomi mereka, atau praktek-praktek ekonomi mereka secara
eksklusif disebabkan oleh religiusitas mereka. Namun demikian, keterhubngan dua
komponen hidup ini tak bisa dipertanyakan. Hubungan ini tampak berkembang dalam
bentuk spiral saling menguatkan sejalan dengan berlalunya waktu, meningkatkan
solidaritas dan efektivitas masing-masing kelompok dalam konteks
masyarakat-masyarakat luas mereka”
Geertz melihat pada
kelompok santri di Jawa, kecenderungan untuk gemi: berpakaian sederhana,
menghindari upacara mewah, dan bekerja keras. Kata Geertz, ini menyebabkan
kelompok santri relatif lebih kaya dibandingkan kelompok. Abangan.
b.Al-Itsar
Perkataan itsar
diambil dari ayat al-Qur'an: “dan mereka mendahulukan (yu’tsiruna) orang
lain atas mereka sendiri, walaupun mereka dalam keadaan payah”. Dalam
prakteknya, itsar tercermin dalam perhatian yang tulus (great concern)
kepada orang-orang yang mendapatkan kesulitan, orang-orang yang mendapatkan
musibah, atau orang-orang yang teraniaya. Di kalangan ahli tasawuf beredar
cerita tentang keutamaan beramal yang meringankan penderitaan orang lain, yang
ganjarannya melebihi ibadah-ibadah ritual. Misalnya kisah tentang Abdullah bin
Mubarak, yang mengesahkan tukang sepatu yang diterima ibadah hajinya, walaupun
tidak berangkat ke Makkah, hanya karena ia menyerahkan ongkos hajinya untuk
menolong keluarga yang miskin; atau cerita tentang murid al-Junaid yang ditolak
menemui gurunya, karena ia menghabiskan ongkos di perjalanan untuk menemui
gurunya, padahal ia dapat menggunakan uang itu untuk membela orang-orang
miskin.
Bila zuhud mempunyai lebih
banyak titik berat pada dampak perseorangan, al-itsar mempunyai dampak
sosial. Sikap menyantuni kaum yang lemah, mendorong orang untuk melakukan
tindakan yang mencerminkan solidaritas sosial. Ada orang mengkritik sikap ini sebagai sikap
yang tidak membantu menyelesaikan persoalan, karena hanya bersifat karitatif,
tetapi si pengkritik tidak melihat bahwa bersamaan dengan kecintaan kepada
orang miskin ada sikap lain yang berkaitan, yaitu sikap menahan diri untuk
hidup mewah. Banyak hadis Nabi SAW menyuruh kita mencintai orang-orang miskin,
akrab bergaul dengan mereka, dan menunjukkan kepada kita keutamaan orang
miskin. Perintah seperti itu bukan saja melahirkan tindakan karitatif, tetapi
juga kesediaan untuk menghindari hal-hal yang mewah di saat saudara-saudaranya
sesama Muslim dalam keadaan berkekurangan.
Sayyidina Ali berkata dalam maqalahnya
“Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku
akan membunuhnya” yang menarik ialah kenyataan bahwa pernyataan perang terhadap
kemiskinan dikeluarkan oleh seorang sahabat yang dianggap terkenal sederhana,
bahkan ia terkenal dengan hidup sufi. Ali, di kalangan ahli tasawuf terkenal
sebagai tajul arifin (mahkota orang-orang yang sudah mencapai ma’rifat). Dialah
khalifah yang merintih di malam hari, menjatuhkan talaq 3 kepada dunia dan
mengecam dunia sebagai tipu daya yang membinasakan. Dia jugalah yang menaruh
perhatian begitu besar untuk memperbaiki nasib orang-orang miskin. Sehingga
Abdurrahman al-Syarqani menulis riwayat hidupnya dengan judul Ali: Imam
al-Masakin.[6]
IV.Sumbangsih Sufisme
Terhadap Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah ilmu
pengetahuan Islam, al-Farabi adalah sufi yang brilian. Ia konon membaca buku
fisika Aristoteles 40 kali, dan De Anima-nya Aristoteles 200 kali. Ia
menulis Ihsha al-‘Ulum, ensiklopedia sains yang pertama. Ia menulis Madinah
al-Fadhilah, buku sosiologi dan politik. Al-Farabi adalah seorang raksasa
dalam sins Islam, tetapi hal itu tidak menghambatnya menjadi sufi. Ibnu
Khalikan melukiskan al-Farabi sebagai berikut, “ia adalah orang yang paling
mengabaikan hal-hal duniawi. Ia tidak pernah memusingkan urusan kehidupan dan
tempat tinggal”. Salah seorang murid al-Farabi mendirikan kelompok pecinta ilmu
pengetahuan di Baghdad
pada tahun 970. Kelompok ini menghidupkan tradisi intelektual yang mulai
terancam di zaman itu. Tiga belas tahun kemudian, mungkin terilhami oleh
kelompok murid al-Farabi ini, di Basrah berdiri Ikhwan al-Shafa (saudara
ketulusan) yang ingin memperbaiki umat Islam, menyucikan mereka secara moral,
spiritual dan political. Ikhwan al-Shafa adalah semacam gerakan sufi yang
sekaligus juga gerakan ilmu pengetahuan. Mereka berkumpul, berdiskusi, dan
merekam pembicaraan mereka dalam 51 risalah yang disampaikan kepada kita. Dalam
risalah itu, mereka bukan saja membicarakan tauhid, akhlak, dan kesucian, tapi
juga mendiskusikan gelombang suara, gerhana, kimia, dan fenomena alam lainnya.
Mereka bukan saja mengulas dialektika Socrates, tetapi juga kezuhudan Ali bin
Abi Thalib.
Melihat kenyataan di atas,
secara hipotesis di sini berani dikatakan, bahwa makin terbenam orang dalam pekerjaan
intelektual, maka rindu ia kepada kehangatan mistikisme. Kegersangan
rasionalisme malahan mendorong orang untuk mencari keseimbangan dengan
menghadirkan sufisme.
Benarkah sufisme
mengabaikan kehidupan?
Hal paling menonjol dalam
argumentasi yang menentang sufisme adalah uzlah, yang dianggap ciri khas
sufisme. Sufisme menjauhi dunia, mati sebelum mati, hidup di langit sambil
menginjak bumi. Seorang bekas Syaikhal-Azhar – Abdul Halim Mahmud – memberikan
bukti-bukti bahwa beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan
cukup sukses.
Secara politik, sejarah
juga mencatat gerakan-gerakan sufi yang menimbulkan perubahan sosial dan
politik. Dari Khurasan, gerakan sufi telah menimbulkan pemberontakan yang
menyumbangkan dinasi Umayyah, dan menegakkan dinasti Abbasiah. Gerakan Imam
Mahdi di Sudan, yang memporakporandakan pasukan Jenderal Gordon, juga gerakan
sufi. Gerakan Sanusiah di Afrika Utara adalah gerakan pembaru sosial yang
sangat “sufi”; begitu juga Ikhwan al-Muslimun di Mesir yang didirikan oleh
Hasan al-Banna, Sartono, ahli sejarah Indonesia, mencatat bahwa gerakan-gerakan
protes di pedesaan di Jawa diwarnai oleh sufisme. Jansen, dalam The Militant
Islam, melukiskan peran sufisme dalam gerakan Islamisasi di Afrika.
Terakhir, di Uni Soviet, Islam mulai bangkit lewat gerakan-gerakan sufi yang
sukar dijangkau oleh agen-agen KGB. Berdasarkan beberapa contoh di atas,
kesimpulan bahwa sufisme melahirkan pasivisme masih harus dipertanyakan.
Seperti yang akan diuraikan selanjutnya, saya bahkan beranggapan bahwa beberapa
nilai dasar dalam sufisme bahkan melahirkan dinamisme dan militansi.[7]
V.Penutup
Tasawuf yang dipraktikan
dengan benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif dan impresif untuk
menghadapi tantangan zaman. Bagi kaum sufi, apa pun zamannya atau bagaimanapun
gejolak di dunia ini, semua akan dihadapi dengan pikiran yang jernih, suasana
hati yang dingin, obyektif, dan penuh ketenangan (thuma’ninah).
Sebaliknya, justru kaum sufi yang terbiasa dengan kehidupan nyata, walau
hatinya telah melampaui kenyataan lahiriah, akan melihat dinamika kehidupan ini
secara proporsional. Kita tahu dalam sejarah, bagaimana pergumulan nyata
kalangan sufi yang mampu menyeimbangkan kehidupan nyata dengan kebutuhan
spiritual. Umar ibn Abdul Aziz yang layak disebut sufi adalah seorang pemimpin,
seorang khalifah, yang patut diteladani. Jabir ibn Hayyan yang juga sufi,
adalah seorang ilmuwan yang berhasil. Demikian pula Syaikh Fariduddin
Al-’Aththar, sufi yang sukses dalam berdagang. Artinya, di sini, bahwa kesufian
seseorang tidak akan menghalangi aktifitas mereka sehari-hari sebagai manusia
biasa yang butuh pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita
kemanusiaan.
Masih banyak contoh lagi
yang menggambarkan kehidupan kaum sufi. Dan semuanya menunjukkan satu bentuk
idealisme yang patut dicontoh sebagai bagian dari pergumulan mereka menghadapi
riak-riak zaman. Kenyataan ini tentunya tidaklah ganjil. Soalnya, mereka bisa
mengimbangi dengan proporsional antara ilmu, amal, dan kesucian hati (tashfiyatu-l-qalb).
Ilmu dan amal yng tidak diimbangi dengan kebersihan hati yang diproses melalui
pelatihan sufistik – bagi kalangan sufi – akan dipandang sia-sia belaka. Dalam semangat
seperti inilah, al-Qur'an menyatakan secara tegas, Dan agar orang-orang yang
telah diberi ilmu, meyakini bahwasannya al-Qur'an itulah yang hak dari tuhanmu,
lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah
adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus
(al-Hajj: 54)
ูุงููู
ุงุนูู ุจุงูุตูุงุจ
DAFTAR
PUSTAKA
Aceh, Abu
Bakar, Perbandingan Madzhab; Syiah, Rasionalisme dan Iman, Semarang:
Ramadhani, 1980
Alberry,
A.J. Sufism an Account of The Mystics of Islam. diterjemahkan B.
Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985
al-Ghazzah,
Muhammad. Rakaiz al-Imam Baina al-Aql wa al-Qalb, Kuwait:
Maktabah al-Amal, 1967
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. 1986
Siroj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial.
Mizan. 2006
§ Makalah ini dipresentasikan pada diskusi
antar siswa program pasca sarjana (PPS) IAIN Sunan Ampel Surabaya mata kuliah
Sejarah Pemikiran Islam di bawah bimbingan Dr. Husen Aziz
[1]
Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Mizan, 2006, hal. 36
[2]
A.J. Alberry, Sufism an Account of The Mystics of Islam, diterjemahkan
B. Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung: Mizan, 1985, h. 8
[3]
al-Shafa adalah semacam gerakan sufi yang sekaligus juga gerakan ilmu
pengetahuan kelompok ini berdiri di Basrah.
[4]
Muhammad al-Ghazzah, Rakaiz al-Imam Baina al-Aql wa al-Qalb, Kuwait:
Maktabah al-Amal, 1967, h. 167
[5]
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, 1986, h. 102
[6]
Abu Bakar Aceh, Perbandingan Madzhab; Syiah, Rasionalisme dan Iman, Semarang: Ramadhani,
1980, h. 48
[7]
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, 1986, h. 97
Setiap
individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan
hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak mudah memahami
hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu kaidah metode
penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa[1].
Kaidah bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas
tertinggi dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan
Assunnah.[2]
Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui makna[3]
teks guna meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks disini adalah Al
Quran dan Hadits. Berdasarkan tingkat validitas dan sifat mengikatnya sumber
makna dibagi menjadi tiga, pertama, yang sudah jelas otentisitasnya tak
diragukan lagi kebenaran sumbernya maupun makna dan maksudnya ูุทุนู ุงูุซุจูุช ูุทุนู ุงูุฏูุงูุฉ yaitu Al Quran kalamullah, kedua,
kahbar yang sudah dipastikan kebenaran sumbernya namun belum bisa dipastikan
makna dan maksud yang dikandungnyaูุทุนูุฉ ุงูุซุจูุช ุธููุฉ
ุงูุฏูุงูุฉ contohnya adalah ayat-ayat Al Quran yang mutasyabihaat dan
khabar mutawatir yang bermakna ganda, dan ketiga adalah khabar yang bukan hanya
sumbernya masih dipersoalkan tapi maksudnya juga masih diperdebatkan ุธููุฉ ุงูุซุจูุช ุธููุฉ ุงูุฏูุงูุฉ. Secara epistemologis makna yang sudah jelas otentisitas dan
signifikansi lafadnya bersifat sah mengikat dan tsabit. [4]Adapun
selain dari yang pertama terbuka pintu ijtihad untuk menafsirkannya.
Pokok bahasan kaedah bahasa adalah lafadz untuk menderivasi
makna. Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al Syatibi (w.790) menegaskan bahwa
layak tidaknya suatu lafadz disebut qoti’ dalalah (ูุทุนูุฉ
ุงูุฏูุงูุฉ)bergantung kepada
keadaan berikut: (1) periwayatan mengenai aspek kebahasaannya (ููู ุงููุบุฉ )
(2) tinjauan aspek tata bahasanya(ุฃุฑุงุก ุงููุญู) (3) bukan kata berimbal(ุนุฏู ุงูุฅุดุชุฑุงู) (4)
bukan figuratife atau metaforis (ุนุฏู ุงูู ุฌุงุฒ) (5) apakah periwayatannya berkaitan
dengan syara’ atau adat (ุงูููู ุงูุดุฑุนู ุฃู ุงูุนุงุฏู) (6) sisipan (ุฅุถู ุงุฑ) (7)
pengkhususan yang umum (ุงูุชุฎุตูุต ููุนู ูู ) (8) Pengikatan yang mutlak (ุงูุชูููุฏ ููู ุทูู)(9)
tidak ada pembatalnya ( ุนุฏู ุงููุงุณุฎ) (10) pendahuluan dan pengakhiran ( ุงูุชูุฏูู ูุงูุชุฃุฎูุฑ)(11)
tidak ada kontradiksi logis (ุนุฏู ุงูู ุนุงุฑุถ ุงูุนูู).[5]
Aplikasi kaidah bahasa untuk menderivasi makna dengan muatan
epistemology qoti’ dan dzanni telah membentengi nash-nash dari permainan
orang-orang yang jahil untuk mementahkan syariah, membantah syubhat-syubhat
yang senantiasa berusaha untuk mencairkan nash-nash agama, berusaha melepaskan
diri dari ikatan syariah dengan tuduhan bahwasannya makna dalam ayat-ayat Al
Quran mengalami perubahan sesuai kondisi dan realitas, dan bahwasannya
ayat-ayat itu tidak menunjukkan suatu perintah ataupun larangan. Dalam makalah
ini penulis bermaksud memaparkan qoidah-qoidah ushul lughowi yang dirumuskan
oleh para ulama ushul sebagai kerangka teoritis dan methodologis guna memahami
karakteristik kata dan maknanya. Tetapi sebelumnya penulis akan memaparkan dulu
secara singkat problem makna dalam hermeneutik sebagai perbandingan dan untuk
mengetahui penyimpangan yang terjadi jika konsep ini diterapkan dalam al Quran.
B. PROBLEM MAKNA
DALAM HERMENEUTIK
Sebagaimana yang sudah disampaikan pada pendahuluan bahwa
makna dalam Islam bersifat mengikat. Oleh karena itu sumber makna harus qoti’
tsubut dan signifikansi maknanya pun harus qoti’ dalalah. Prinsip epistemologi
ini tidak didapatkan dalam hermeneutik. Ada lingkaran hermeneutic dimana makna
senantiasa berubah. Para hermeneot dituntut bersikap skeptive. Senantiasa
meragukan kebenaran darimanapun datangnya, sebagai implikasi dari paham
relativisme. Tidak ada tafsir yang mutlak benar. Semuanya relative. Pemikiran
hermeneutic ini lahir akibat problem otentisitas yang dialami Bibel. bibel yang
dianggap kalam Tuhan (God’s word) ternyata mayoritas adalah campur tangan
manusia belaka. [6]
Berikut dipaparkan beberapa pemikiran tokoh hermeneutik.
Gadamer merumuskan interaksi pembaca dengan teks sebagai
sebuah dialog atau dialektika soal jawab di mana pandangan keduabelah pihak
melebur menjadi satu hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Setiap jawaban
adalah relative dan tentative kebenarannya,senantiasa boleh dikritik dan
ditolak.[7]
Pemahaman berkaitan erat dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta
pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Inilah yang dimaksud dengan
dinamika perpaduan berbagai macam faktor dalam sebuah bahasa. Pemahaman
senantiasa dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini meskipun pemahaman itu
berhubungan dengan peristiwa masa lampau (sejarah), dialektika dan
bahasa. Pemahaman tidak pernah bersifat objective dan ilmiah. Sebab pemahaman
bukanlah memahami secara statis dan diluar kerangka ruang dan waktu tetapi
selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan
waktu, misalnya dalam sejarah. Semua pengalaman yang hidup itu menyejarah. Akan
tetapi menurut Gadamer, arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau (waktu
teks itu ditulis), tetapi juga mempunyai keterbukaan terhadap masa depan.
Karenanya menafsirkan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai
sesuai dengan sifat dari teks itu sendiri.[8]
Menurut Ricour otonomi teks ada tiga macam : intensi atau
maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk
siapa teks itu dimaksudkan. Makna dalam tiga hermenetik circle itu mengalami
reduksi. Materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari
pengarangnya inilah yang dimaksud dengan dekontekstualisasi. Teks tersebut
membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara meluas dimana pembacaannya
selalu berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.
Hubungan dengan dunia teks terletak dalam hubungan dengan subjektivitas
pengarangnya dan pada saat yang sama persoalan subjektivitas pembaca
ditinggalkan. Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri kedalam
teks, melainkan membuka diri terhadapnya.[9]
Bagi Emillo Betty, makna itu sebagaimana yang dimaksudkan
oleh pengarang dan agen-agen historis. Makna dirujuk kepada bentuk-bentuk
bermakna yang merupakan objektivasi pemikiran manusia. objektivikasi yang
sempurna bagi Emillo tidak akan pernah diraih, Emillo Betty menegaskan yang ada
hanya objektivikasi yang relative. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang
dialektis antara aktualitas pemahaman dan objektivikasi-objektivikasi akal.
Sekalipun penafsiran objektiv dapat diraih namun Betty menyatakan penafsiran
tidak akan bisa sempurna dan final. Penafsiran objective tidak akan pernah bisa
menjadi absolute karena wujudnya jarak antara diskursus atau pembicaraan dengan
audiensnya. Bagi Betty makna seharusnya diderivasi dari texs dan bukan
dimasukkan kedalam teks. Meaning has to be derived from the text and not
imputed to it.[10]
C. KAIDAH USHUL
BAHASA DALAM MENETAPKAN MAKNA
Manhaj Al Quran di dalam menerangkan makna-makna petunjuk
adalah manhajnya umat yang kepada mereka wahyu diturunkan. Al quran tidak
memakai mufradat, srtuktur, dan ilustrasi yang tidak diketahui oleh masyrakat
Arab. Tidak didapatkan dalam Al Quran kalimat yang tidak dipakai oleh masyrakat
Arab. Ataupun struktur kalimat yang sulit dipahami oleh masyrakat Arab secara
keseluruhan. Karena itu seorang yang hendak memahami nash dan menggali
hukum yang terkandung didalamnya harus menguasai bahasa Arab. Lebih jauh lagi
ia harus memahami detil-detil idiom (ibarah) dalam bahasa Arab beserta
pengertiannya. Sehingga memungkinkannya memahami nash dan mencari kejelasan
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
Para ulama ushul telah melakukan pembagian lafadz
berdasarkan klasifikasi maknanya kepada beberapa pembagian untuk memudahkan
pengkajian dan penulisan pada satu sisi dan takhrij serta tarjih pada sisi
lain. Pembagian tersebut merupakan kaidah-kaedah yang dapat digunakan untuk
memahami nash-nash dan menggali hukum-hukum taklify dari nash-nash tersebut.
Apabila kaidah tersebut diikuti oleh seorang ahli fiqh maka ia akan terhindar
dari kesalahan dalam istinbat hukum. Dalam membuat kaedah mereka berpedoman
kepada dua hal sebagai berikut : Pertama, ุงูู ุฏูููุงุช
ุงููุบููุฉ (pengertian konotasi
kebahasaan), dan ุงูููู ุงูุนุฑุจู (pemahaman yang didasarkan pada citra rasa arab) terhadap nash-nash
hukum al Quran dan as Sunnah. Kedua, Penjelasan Nabi SAW terhadap
hukum-hukum Al Quran. Dengan adanya tambahan keterangan dari as Sunnah lafadz
menjadi lebih jelas dan mempunyai kepastian hukum.[11]
Pembagian lafadz berdasarkan pada klasifikasi maknanya
sebagai berikut: Pertama,dari segi kandungan pengertiannya, kedua,lafadz dari
segi penggunaannya, ketiga,lafadz dari segi kejelasan artinya,dan keempat
lafadz dari segi dilalahnya atas hukum. Penulis akan memfokuskan kajian pada
dua pembagian yaitu lafadz dari segi kejelasan artinya dan segi dilalahnya atas
hukum.
D. LAFADZ DARI
SEGI KEJELASAN ARTINYA
Lafadz yang terang artinya terbagi kepada empat tingkat yang
kekuatan dari segi kejelasan artinya berbeda. Dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : Dzahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
DZAHIR
Dzahir secara bahasa adalah lafadz
yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir
adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk
menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya
mendengarkan bunyi lafadnya.[12]
Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang
dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna
itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung
kemungkinan adanya takwil.[13]
Al Amidy memberikan definisi: Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada
makna yang dimaksud berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan
kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain
dengan kemungkinan yang lemah.[14]
Qodhi Abi Ya’la merumuskan definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan
dua makna , namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.[15]
Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf :
lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa
tergantung pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju
dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan.[16]
275.), padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
Ayat ini secara dzahir menunjukkan
pembolehan jual beli dan pengharaman riba, karena bisa dipahami tanpa perlu
qorinah akan tetapi konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli dan
riba sebagai bantahan atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara
jual beli dan riba. Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang
diturunkannya ( asbabun nuzul). Kehalalan jual beli dan keharaman riba sudah
diketahui sebelum diturunkannya ayat, kehalalan jual beli adalah makna yang
pokok adapun keharaman riba dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Barr tentang
ayat ini,” adapun ayat pengharaman riba telah diturunkan jauh mendahului
sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam QS Ali Imron[18],
130. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Demikian juga diriwayatkan oleh
Assuyuti dalam asbabunnuzulnya tentang ayat ini: Al Farabi telah mengeluarkan
dari Mujahid beliau mengatakan,” mereka melakukan jual beli dengan tempo
apabila temponya tiba mereka menambahkan harganya dan memperpanjang temponya
maka turunlah ayat ini. Juga dikeluarkan dari Ato beliau mengatakan,”
adalah bani Tsaqif berhutang pada Bani Nadir pada masa jahiliyah, apabila jatuh
tempo mereka mengatakan,” kami akan memberi tambahan pada piutang kalian dan
kalian menangguhkan tempo.” Maka turunlah ayat ini (QS Ali Imron 130).”[20]
Oleh karena itu menjadi jelaslah bahwa pengharaman riba telah ada jauh
sebelum ayat surah Al baqoroh ayat 275. Kesimpulannya QS Al Baqoroh ayat 275
ini bukanlah mempunyai konteks makna penghalalan jual beli dan pengharaman
riba. Akan tetapi konteks ayat ini adalah untuk membantah anggapan orang-orang
kafir yang menyamakan hukum jual beli dan riba. Jadi nash ayat ini untuk
menegaskan perbedaan kedua transaksi tersebut. [21]
Meskipun dzahir bisa dipahami tanpa
qorinah namun tidak ada keterangan di dalam Al Quran yang tidak dilindungi
dengan qorinah hingga bisa disalah pahami. Contoh adalah firman Allah SWT,
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al
Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Dari ayat
di atas dipahami bahwasannya Allah itu esa dan tidak ada sekutu bagiNya. Dengan
cara menta’rifkan lafadz dua ujung pertamaููุงูุฐู
Allah mengkhususkan penurunan Al Quran kepada Nabi Muhammad. Kalau
ada Tuhan selain Allah niscaya akan menurunkan Kitab seperti Al Quran kepada
selain Nabi Muhammad.
Makna ini bukanlah yang dikehendaki
secara asli, akan tetapi bisa dipahami dari nazm dengan berlandaskan
kaidah-kaidah pemahaman yang sahih. Dengan demikian makna ini bersifat dzahir .
dzahir disini bukan berarti mudah dipahami oleh orang awam akan tetapi
mempunyai makna sekunder. [22]
Tentang status hukum lafadz dzahir
ini meski ada perselisihan apakah lafadz dzahir memberi makna yakin dan qoti’,
tapi para fuqoha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban melaksanakannya menurut
lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafadz itu.
Penetapan hudud ‘uqubat syarie’ dan kifarat sah dilakukan dengan lafadz dzahir.
[23]
Apabila hermeneutika diaplikasikan
dalam lafadz dzahir maka akan banyak ajaran-ajaran pokok Al Quran yang
dimentahkan. Makna tauhid dipaparkan lebih banyak dalam lafadz dzahir daripada
nash. Hampir tidak ada ayat dalam Al Quran yang tidak menyinggung tauhid.
Demikian juga petunjuk-petunjuk Al Quran sangat banyak disebutkan dalam lafadz
dzahir. [24]
Akan terjadi pengkaburan makna tauhid pendangkalan akidah, dan
dekonstruksi syariat islam. Makna-makna yang qoti’ akan diragukan, hukum-hukum
yang wajib diamalkan, halal dan haram akan ditolak. Contoh firman Allah dalam
Qs. al baqoroh 275,
Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.(Qs. al Baqoroh 275).
Dzahir ayat di atas adalah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hukum ini jelas dan qoti’.
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada dzahir ayat ini maka riba bisa menjadi
halal dan jual beli menjadi haram. Contoh lain adalah firman Allah Qs.Al Hasyr,
007. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yangdilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah Qs. Al Hasyr ayat 7
Dzahir ayat diatas adalah
memerintahkan untuk taat kepada Rasul SAW. Makna ayat ini jelas dan qoti’.
Menjalankan hukumnya adalah wajib. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada ayat
ini maka makna dzahir yang qoti’ menjadi relative dan terbuka kemungkinan
berubah. taat kepada Rasul menjadi tidak wajib.
NASH
Definisi nash menurut al Sarkhasi
adalah : lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan
qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot
sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil,
menerima naskh dan takhsis.[25]
Dari definisi ini menjadi jelaslah
bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman
maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga
makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami
dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih
jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam.
Seperti firman Allah SWT,
Qorinah ini menunjukkan bahwasannya
yang dimaksud dengan konteks ayatูุงุญู ุงููู ุงูุจูุน ูุญุฑู
ุงูุฑุจุง adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan
menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir
yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu ูุงุญู ุงููู ุงูุจูุน ูุญุฑู ุงูุฑุจุง secara dzahir penghalalan
jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya.
Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al
Quran,
Qorinah ูุซูุงุซ
ูุฑุจุงุน datang setelah perintah menikah untuk menunjukkan bahwa maksud
konteks kalam adalah keterangan jumlah yang diizinkan bagi seorang muslim. Maka
ayat ini secara dzahir adalah penghalalan pernikahan dan nash jumlah yang
dibolehkan. Demikianlah qorinah sebagai pembeda antara dzahir dan nash dan
sebagai petunjuk bahwasannya nash itulah yang dimaksud oleh kalam.[27]
Hukum nash sama dengan hukum dzahir
yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan
konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil takhsis dan naskh.
Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum
nash adalah qot’i atau yakin.[28]
Meskipun berkedudukan sama dalam
hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara
langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah
yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung
dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara
langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak
langsung.[29]
Juga kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil
daripada dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash
dan dzahir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.[30]
Apabila hermeneutik diaplikasikan
pada nash al Quran maka makna nash yang sudah jelas dan qoti’ akan akan kabur
dan tidak pasti. Hukum-hukum dalam nash al Quran yang wajib diamalkan akan
ditolak. Perkara-perkara metaphisik yang dijelaskan dalam nash akan diragukan.
Contoh firman Allah dalam Qs. al Baqoroh ayat
275,
Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Qs. al Baqoroh ayat 275.
Ayat di atas adalah nash tentang
perbedaan hukum jual beli dan riba. Jual beli hukumnya halal sedangkan riba
haram. Makna ini jelas dan qoti’. Hukumnya juga wajib dilaksanakan.
Apabila hermeneutik diaplikasikan
pada nash tersebut. maknanya menjadi kabur dan hukumnya ditolak. Sehingga akan
mengantarkan kepada kesimpulan tidak ada perbedaan antara jual beli dan riba.
MUFASSAR ((ุงูู ูุณุฑ
Dengan ditempatkannya Al Mufassar
pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada
beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
Al Sarkhisi memberi definisi
: Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka
dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. Abdul Wahab
Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi
petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat
dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.[32]
Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari
lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya.[33]
Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat
lafadz mufassar itu: a.Penunjukannya terhadap makna jelas sekali. c.
Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar.
d. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.[34]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. Annur 2) , dan tentang had qodzaf
004. Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera,
Masing-masing lafadz yaitu : ((ู ุฆุฉ dan ุซู ุงููู)) mufassar karena ia adalah bilangan
tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan. Dan
firman Allah SWT,
dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.
Kalimat ูุงูุฉ menafikan kemungkinan adanya takhsis.
Dengan demikian mufassar adalah
lafadz atau kalam yang disertai dengan bayan taqriri atau bayan tafsiri
sehingga menjadi lebih jelas daripada nash dan maksudnya bisa dipahami dengan
sighot bukan dengan makna dari mutakallim. Bayan Taqriri adalah keterangan yang
memutus kemungkinan adanya takhsis apabila lafadznya ‘aam dan kemungkinan
adanya makna metaphor dan takwil apabila lafadznya khos, sehingga lafadz
menjadi kuat, pasti dan tegas seperti ayat, ََููุงุชُِููุงْ
ุงْูู ُุดْุฑَِِููู َูุขَّูุฉً.
Bayan Tafsiri adalah keterangan yang
menghapus adanya kesamaran yang menyelimuti kalam sehingga menjadikannya jelas,
seperti firman Allahูุณุฌุฏ ุงูู ูุงุฆูุฉ ูููู ุงุฌู ุนูู nama
malaikat bersifat umum yang memungkinkan adanya takhsis karena ia adalah lafadz
jama muarraf dengan huruf laam hingga mengindikasikan ‘aam akan tetapi
mengandung kemungkinan takhsis adanya sebagian malaikat yang tidak bersujud,
tetapi dengan adanya lafadz ูููู hilanglah
kemungkinan itu. Ini bayan taqriri. Ketika ada tambahan ุฃุฌู ุนูู hilanglah kemungkinan para malaikat bersujud
sendiri-sendiri. Inilah bayan tafsiri yang menafsirkan cara bersujudnya para
malaikat dan memutus kemungkinan takwil.[36]
Hukum mufassar adalah wajib
mengamalkannya. Berdasarkan keterangannya yang terperinci dan dalalahnya yang
qoti’. Pada periode Rasululloh SAW mufassar mengandung kemungkinan dinaskh
apabila termasuk hukum yang boleh dinaskh. Adapun sesudah meninggalnya beliau
seluruh hukum di dalam Al Quran menjadi muhkam dengan terputusnya wahyu.[37]
Apabila metode hermeneutik
diaplikasikan pada ayat mufassar, maka ayat-ayat mujmal tetap dalam keadaan
mujmalnya. Tidak ada makna pasti yang memerinci ayat-ayat mujmal agar bisa
diaplikasikan ke dalam taklif syarie. Bagaiman pengertian sholat secara
terminology syariah, pelaksanaan zakat dan haji. Masing-masing orang akan
melaksanakan praktek ibadah atas dasar pemahamannya. Contoh mufassar adalah
firman Allah,
Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. Qs. al Baqoroh 110
Ayat di atas adalah perintah untuk
menegakkan sholat dan menuanaikan zakat secara mujmal. Kemudian Rasululloh SAW
menjelaskan makna dan pelaksanaan sholat dan zakat baik secara lisan maupun
praktek. Maka lafadz ayat yang mujmal naik menjadi mufassar sehingga tidak
menerima takwil. Apabila metode hermeneutic diterapkan, maka lafadz mujmal akan
tetap samar. keterangan yang memufassarkannya akan diragukan dan direlatifkan.
Tidak ada pedoman yang disepakati dan jelas dalam melaksanakan taklif syari’.
Masing-masing orang akan menafsirkan sendiri keterangan-keterangan yang
mujmal.
AL MUHKAM (ุงูู ุญูู )
Muhkam adalah lafadz yang
menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz
ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan
terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak
menerima adanya nasakh.[39]
Seperti sabda Nabi SAW,” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan
seperti firman Allah, “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. QS. a-Nnur :4
Al Muhkam lebih kuat dari pada Al
Mufassar tapi tidak lebih terang. Dikatakan demikian karena Al Muhkam tidak
menerima nasakh sementara Al mufassar menerima. Ketidak menerimaan Al Muhkam
terhadap naskh tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan
naskh bukan bersumber dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh
karena itu Almuhkam lebih kuat dari lafadz-lafadz yang lain.
Ada dua perkara yang menjadi sebab
Al Muhkam tidak menerima naskh baik pada periode Rasululloh SAW maupun sesudah
beliau wafat, yaitu :
1. Nash
muhkam yang mempunyai makna yang tidak mungkin berubah. Seperti
hukum-hukum pokok dalam agama antara lain iman kepada Allah SWT,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,rasul-RasulNya dan iman kepada hari akhir,
iman kepada sifat-sifat Allah SWT.[40]
Nash-nash tentang pokok-pokok akhlak yang utama yang diakui oleh akal yang
sehat seperti kejujuran, menepati janji, amanah, bakti pada orang tua,
sillaturrahmi dan nash-nash yang bermakna berlawanan dari itu. Seperti dusta,
khianat,zalim, durhaka pada orang tua dan memutuskan sillaturrahim. Demikian
juga apabila di dalam nash terdapat lafadz yang menunjukkan atas keabadian
makna.[41]
seperti ayat
Kalimat ุฃَุจَุฏุง
menunjukkan secara jelas bahwasannya hukumini berlaku selamanya.
Ayat-ayat yang yang mempunyai makna demikian seluruhnya beersifat muhkam lia’inihi
atau lidzatihi karena maknanya tidak mungkin berubah.
2.
Nash yang mengandung kemungkinan naskh baik pada lafadz maupun pada
maknanya.Akan tetapi kemungkinan tersebut sirna karena meninggalnya Rasululloh
SAW sebelum ada keterangan tentang naskhnya. Nash yang demikian masuk pada
muhkam lighoirihi. Jadi seluruh bagian dari wadih dalalah yaitu dzahir,nash dan
mufassar menjadi muhkam setelah meninggalnya Rasululloh SAW . Muhkam dalam arti
bebas dari naskh bukan dari takhsis ataupun takwil.[42]
Para ulama ushul sepakat bahwa al
muhkam menduduki posisi tertinggi dalam kejelasan di antara derajat-derajat
kejelasan lafadz. al muhkam menunjukkan makna yang jelas dan tidak ada kemungkinan
takwil, takhsis dan naskh. Baik pada peride Rasululloh maupun sesudah beliau
wafat. Wajib mengamalkan hukum lafadz muhkam secara pasti (qoti’) tanpa
mengandung kemungkinan-kemungkinan alternatif lain dan tidak mungkin
dinaskh oleh lafadz lain. keterangan-keterangan tentang hal-hal yang metaphisis
juga harus diyakini.
Apabila metode hermeneutik
diterapkan dalam lafadz muhkam ini. Maka perkara-perkara yang tetap dalam agama
akan berubah. Baik itu tetap karena muhkam lidzatihi maupun karena muhkam lighoirihi.
Contohnya adalah firman Allah SWT dalam
Katakanlah: "Siapakah yang
memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab:
"Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa
(kepada-Nya)?"
Ayat-ayat ini adalah semuanya muhkam
lidzatihi. Dalalahnya jelas maknanya tidak mungkin berubah. baik karena takwil,
takhsis maupun naskh. Karena ia adalah perkara pokok agama. Apabila hermeneutik
diaplikasikan dalam lafadz ini maka perkara yang tetap akan berubah.
Pokok-pokok yang harus diyakini akan didangkalkan dengan teori relativisme
penafsiran.
Kesimpulannya adalah tidak ada makna
yang jelas, tetap dan qoti’ dalam hermeneutik. Baik dzahir, nash, mufassar
maupun muhkam belum final dan masih terbuka kemungkinan berubah sesuai
dengan realitas dan rasionalitas. Asumsi ini didasari oleh relativitas
penafsiran. Semua penafsiran adalah produk akal manusia sedangkan kebenaran
akal manusia bersifat relative. Yang mutlak adalah wahyu dan agama.
Penafsiran yang didasari oleh
ketundukan terhadap realitas nampak pada teori double movement Fazlurrahman[46].
Dari situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan dan kembali ke masa kini.
Fazlur Rahman menerangkan ide double movement sebagai berikut :
“Gerakan pertama menempuh dua
langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan
dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al Quran
tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat
spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan
masyrakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan
secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar
Makkah. Dengan tidak mengkesampingkan peperangan-peperangan Persia-Bizantium
akan harus dilakukan. Jadi langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah
memahami makna al Quran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam
batasan-batasan ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap
situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah menggenaralisir jawaban-jawaban
spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki
tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik
dalam sinaran latar belakang sosio historis dan rationes legis yang sering
dinyatakan. Benar, langkah yang pertama memahami makna dari ayat spesifik itu
sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama
proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran al Quran sebagai suatu
keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang
dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.
Al quran sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan suatu sikap yang pasti
terhadap hidup dan memiliki dan memiliki suatu pandangan hidup yang konkret; ia
juga mendakwakan bahwa ajarannya “ tidak mengandung kontradiksi dalam, tetapi
koheren secara keseluruhan”[47]
Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda tersebut
sebagai berikut : “sementara gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal yang
spesifik dalam al Quran ke penggalian dan sistemasi prinsip-prinsip umum,
nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus
dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan
dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus
ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang konkret di masa sekarang. Ini sekali
lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai
unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah
kondisi sejarah sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan
prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Quran
secara baru pula. Sejauh linkup kita mampu mencapai kedua momen dari gerakan
ganda ini dengan berhasil, perintah-perintah al quran akan menjadi hidup dan
efektif kembali.” [48]
Dengan ide double movementnya ini
Fazlurrahman telah menjadikan hukum-hukum Al Quran tunduk dibawah situasi-situasi
kondisional yang terus menerus berubah. Al quran tidak dijadikan imam yang
ditaati. Namun ajaran-ajarannya dikompromikan agar sesuai dengan selera hawa
nafsu. hukum-hukum syari’ yang qoti’ dalam makna dzahir, nash, mufassar bahkan
muhkam dinegasikan. Fazlurrahman telah menolak keharaman riba, pembolehan
poligami, hudud dan hukum-hukum Islam lainnya. Menurut Rahman, Al Quran
ketika diturunkan dipengaruhi oleh situasi historis saat itu. Sehingga ia
merasa perlu mengklasifikasikan idea moral dan legal spesifik. Karena kondisi
sekarang berbeda ia mengatakan yang berlaku adalah idea moral dan bukan legal
spesifik. Dalam menolak poligami ia beralasan kondisi Arab ketika Al Quran
diturunkan tidak membatasi jumlah wanita untuk dinikahi. Maka Al Quran meresponnya
dengan membatasi empat istri. Inilah legal formal sedangkan idea moralnya
adalah pembatasan satu istri. Ketika Al Quran diaplikasikan saat ini maka yang
berlaku adalah idea moralnya yaitu satu istri.[49]
E. LAFADZ DITINJAU
DARI TUJUAN PEMBICARA
Ditinjau dari aspek tujuan pembicara atau metode
signifikansi lafadz atas makna, lafadz dibagi menjadi empat, yaitu : (1)
‘Ibarah nash(ุนุจุงุฑุฉ ุงููุต) (2) Isyarah nash (ุงุดุงุฑุฉ ุงููุต) (3)Dilalah nash(ุฏูุงูุฉ
ุงููุต) dan (4) Iqtidha nash(ุงูุชุถุงุก ุงููุต).
‘IBARAH NASH (ุนุจุงุฑุฉ ุงููุต)
Menurut Abu Zahroh ‘ibaroh nash
adalah: makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik
dalam bentuk nash maupun zahir.[50]
Maksudnya adalah signifikansi lafadz atas makna yang dapat dipahami secara
langsung apakah menurut penggunaan asalnya (nash) ataupun bukan menurut asalnya
(dzahir). Perbedaan nash dan ibarah nash adalah bahwa ibarah nash mencakup
makna yang dimaksud dalam kalam dan makna yang sekunder sedangkan nash hanya
mencakup makna yang dimaksud oleh kalam.
maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Qs an Nisa; 3
Ayat ini menunjukkan kepada tiga
hukum : Pertama, kebolehan menikah. Kedua, kebolehan menikah lebih dari satu
wanita sampai empat. Ketiga, wajib membatasi hanya satu apabila khawatir tidak
dapat berlaku adil.
Dua poin yang terakhir adalah yang
dimaksud secara asli dari konteks ayat. Adapun yang pertama adalah makna
sekunder. Ibarah nash mencakup dua makna ini adapun nash hanya menunjukkan dua
poin yang terakhir. Karena nash secara istilah adalah makna yang dimaksud
secara asli adapun poin yang pertama bukan makna yang dimaksud.
ISYARAH NASH (ุฅุดุงุฑุฉ ุงููุต)
Menurut Abu Zahrah isyarah nash
adalah : Apa yang ditunjuk oleh lafadz tidak melalui ‘ibarahnya.[52]
Al Sarkhisi dari ulama Hanafiyah memberi definisi : Apa yang terungkap memang
bukan ditunjukan untuk itu, namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu
makna dari lafadz itu, tidak lebih dan tidak kurang.[53]
Jadi isyrah nash adalah suatu makna hukum yang tidak dipahami oleh mukhotob
tanpa perenungan, makna hukum tersebut bukanlah maksud pembicaraan bukan pula
konteks makna yang ditujukan oleh kalam.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Qs. Al-Baqoroh 233
Ayat ini adalah contoh bagi ‘ibarah
nash dan isyarah nash. Ayat di atas mengandung ‘ibarah nash karena mempunyai
maksud dan konteks makna kalam menerangkan kewajiban nafakah bagi ibu yang
menyusui. Inilah yang dipahami secara langsung dan dzahir. Demikian juga ayat
ini mempunyai implikasi isyarah nash karena secara mudah bisa dipahami bahwa
nasab anak kepada bapaknya. Karena anak dalam ayat tersebut diidofahkan kepada ุงููุงูุฏ dengan huruf “lam” yang menunjukkan
kekhususan, kekhususan disini adalah kekhususan nasab bukan kepemilikan. Makna
isyarah ini adalah mafhum dari ayat dengan bantuan pengamatan. Karena ia tidak
sedzahir ‘ibarah dan bukan makna yang dimaksud dalam konteks, namun kalam
mengisyaratkan makna demikian.[55]
Hukum beramal dengan dua lafadz
diatas adalah wajib, namun perlu diperhatikan pada isyarah nash karena makna
pada lafadz ini kadang-kadang samar pada sebagian orang kecuali pada para
fuqoha yang dalam ilmunya. Apalagi kemampuan akal berbeda-beda dalam memahami,
yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menangkap makna yang terkandung
dalam isyrah nash. Pada ‘ibaroh nash makna mudah dipahami karena dilalah
cukup jelas meski bagi orang yang bukan faqih.[56]
DILALAH NASH (ุฏูุงูุฉ ุงููุต)
Menurut Abu Zahrah dilalah nash
adalah : Pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain yang
dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (‘ibaroh nash) karena adanya
faktor penyebab yang sama.[57]
Al Sarkhasi memberikan definisi : apa yang ditetapkan dengan makna menurut
aturan bahasa dan bukan melalui cara istinbat dengan menggunakan daya nalar.[58]
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa madlul (makna) dalalah nash
bukanlah suatu bentuk hukum akan tetapi suatu ‘illah hukum yang disebutkan
dalam nash hanya saja ‘illah tersebut tidak diketahui lewat ijtihad dan
mengetahuinyapun tidak dimonopoli oleh ahli ijtihad, akan tetapi juga dipahami
oleh ahli bahasa dengan analisa kebahasaan.
Ada sisi persamaan antara dilalah
nash dengan qiyas yaitu dua-duanya sama-sama bertolak dari ‘illah yang
disebutkan dalam nash. Perbedaannya adalah bahwa dalalah nash sandarannya
adalah bahasa dan kaidahnya sedangkan qiyas dibangun dengan ijtihad dan
istinbat. Oleh karena itu dilalah nash bisa dipahami oleh setiap ahli bahasa
sedangkan qiyas tidak boleh kecuali oleh orang yang mumpuni ilmunya dan
pandangan yang tajam dalam aspek-aspek syariat. Kalau yang pertama diterima
oleh jumhur ulama sedangkan yang kedua diperselisihkan.
Keumuman hukum sesuai dengan
keumuman ‘illah. Maksudnya hukum menjadi umum dan sama apabila terdapat illah
yang diketahui berdasarkan dilalah nash.[59]
IQTIDLO NASH (ุฅูุชุถุงุก ุงููุต)
Menurut Abu Zahrah iqtidlo nash
adalah : signifikansi (dilalah) lafadz terhadap sesuatu, dimana
pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.[60]
Iqtidlo (tuntutan) bukanlah signifikansi atas makna lafadz baik dari ‘ibaroh
maupun mantuqnya, akan tetapi ia adalah dilalah yang mesti ada dan dipandang
dari makna diluar mantuq kalam. Agar kalam menjadi sah baik secara syara’
maupun nalar sehingga sisi kebenarannya bisa diketahui. [61]
Keharusan mempertimbangkan makna
dari luar sesuai dengan tuntutan kebenaran kalam. tidak boleh lebih dari makna
yang dianggap benar baik oleh syari’ maupun logika. Contohnya firman Allah SWT,
Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma`af dengan cara yang baik (pula)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa jika
keluarga orang yang dibunuh telah memaafkan, maaf hendaklah diikuti dengan
sikap yang baik kepada orang yang telah diberi maaf. Yakni sebagai konsuekuensi
logis dari sikap memaafkan tersebut ialah adanya imbalan harta benda yang
diharapkan oleh orang yang memaafkan. Oleh karena itu adanya perintah untuk
mengikuti dengan sikap yang baik dimaksudkan agar supaya orang yang memberi
maaf diberi uang imbalan yang nilainya sama dengan diyat atau kurang. Karena
sikap yang baik dari orang yang memberi maaf tersebut tak akan terjadi kecuali
bila ia diberi uang imbalan.[63]
Keadaan qoti’yyah dan dzanniyyah
makna masing-masing bagian diatas bisa diperinci sebagai berikut: (1) Ibaroh nash
mempunyai makna qoti’ secara mutlak. (2) Isyarah nash bergantung pada qorinah.
Menjadi qoti’atau dzanni sesuai dengan keadaan qorinah. (3) kedudukan makna
dalalah nash seperti isyarah nash (4) dalalah iqtidlo apabila maknanya secara
syari’ dan logis bisa diterima menjadi lebih kuat dari qiyas. [64]
Apabila hermeneutiknya Paul
Ricour diapliasikan pada ibarah nash dan isyarah nash maka makna yang ada pada
ibarah dan isyarah nash akan menyimpang tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh
mutakallim. Karena dengan teori dekonstektualisasi makna akan lepas dari apa
yang dikehendaki oleh mutakallim dan dengan teori rekonstektualisasi mufassir
berhak menafsirkan teks sesuai yang diinginkan terlepas dari maksud mutakallim.
Inilah yang telah dilakukan oleh
Syahrur dalam teori kaynunah (kondisi berada), dimana teks turun dengan hukum
yang diberlakukan waktu itu, sayrurah (kondisi berproses) yang berarti adanya
perubahan waktu dan tempat, dan shayrurah (kondisi menjadi), dimana teks
diposisikan otonom yang bisa ditafsirkan sesuai dengan konteksnya dengan
spekulasi yang tidak lepas dari syubjektivitas. Syahrur mengatakan,
“al Quran yang selalu dijaga oleh
kekuatan ilahi (Tuhan), adalah suatu kekayaan yang telah dimiliki oleh generasi
paling awal hingga generasi sekarang. Karena masing-masing generasi menafsirkan
Al Quran berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang
hidup pada abad ke-20 ini juga berhak menafsirkan al Quran berdasar semangat
zaman yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang.[65]
Penutup
Kaidah bahasa dalam menetapkan makna ayat-ayat hukum
menghasilkan makna yang pasti, jelas dan qoti’ pada keumuman syariat guna
memperoleh kepastian dan ketetapan hukum. Hal ini didukung oleh sifat bahasa
Arab yang ilmiyah. Bahasa Arab adalah suatu ilmu yang dapat diketahui dengan
pasti, arti kata-katanya dan konsep-konsep pentingnya yang benar tidaklah relative
dan tidak terus menerus berubah. Jika relative dan berubah-rubah ilmu
pengetahuan mengenai Al Quran dan ajaran-ajaran Nabi yang benar tidak mungkin
diketahui. Fungsi bahasa Arab sebagai alat interpretasi wahyu Al Quran dan
komunikasi antara Tuhan dengan hamba-hambaNya menjadikannya mampu menggambarkan
realitas dengan cara yang benar.[66]
Empat pembagian lafadz ini dari sisi kejelasan lafadznya
maupun dari sisi maksud mutakallim mempunyai derajat kejelasan yang
berbeda-beda. Nash lebih jelas dari dzahir. Nash dan dzahir sama-sama mempunyai
kejelasan makna bagi pendengarnya. Namun nash mempunyai qorinah nutqiyyah
yang membuatnya lebih jelas daripada dzahir, baik yang datang mendahului lafadz
maupun yang datang menyusul sesudahnya. Qorinah nutqiyyah inilah yang
menjelaskan bahwasannya nash itulah yang dimaksud dalam konteks kalam.
Mufassar lebih jelas dan lebih kuat daripada nash. Mufassar
mempunyai wasf (sifat) yang membuatnya lebih kuat daripada nash. Mufassar tidak
menerima takwil dan takhsis sementara nash menerima. Akan tetapi mufassar
terbuka kemungkinan dinaskh oleh Al Quran atau Asunnah pada periode Rasululloh
SAW masih hidup. Sepeninggalnya beliau kemungkinan itu sudah
tertutup. Demikian juga Al Muhkam lebih kuat daripada mufassar. Karena sejak
awal kedatangannya pada periode Rasuluulloh tidak menerima naskh, sementra
mufassar menerima. Perbedaan-perbedaan derajat kejelasan lafadz ini nampak
pengaruhnya ketika terjadi ta’arud (pertentangan). Dimana lafadz yang lebih
kuat ditarjihkan atas lafadz yang lebih rendah kekuatan kejelasannya. Ta’arud
antar lafadz-lafadz ini hanya bersifat performance saja bukan
bersifat hakiki. karena persamaan makna adalah syarat diterimanya lafadz-lafadz
yang bertentangan ini. Dinamakan ta’arud hanya bahasa metaphor saja.
Makna-makna yang dikandung dalam lafadz dzahir dan nash (apabila
tidak ada takhsis, takwil dan naskh), lafadz mufassar (apabila tidak ada naskh)
dan lafadz muhkam, adalah makna yang bersifat tauqifi (given) sehingga tidak
bisa disimpangkan dengan cara-cara spekulatif. Makna lafadz apabila bersumber
dari nash yang qot’iyyutsubut dan qotiyyudalalh, bersifat pasti, tetap dan
final, tidak dibatasi oleh kondisi ataupun konsepsi sejarah maupun sebab.
Nash-nash yang datang karena sebab tertentu, sebab tersebut menjadi penegas
makna namun lafadznya berlaku secara umum. Kekhususan sebab tidak bisa menjadi
penghalang bagi keumuman lafadz. Seperti misalnya , ayat dzihar turun
untuk khoulah binti Tsa’labah istrinya Aus bin Shamit, ayat lia’n turun untuk
Hilal bin Umayyah, ayat pencurian turun untuk Sofwan, hadist, air itu suci dan
tidak dinajisi oleh apapun kecuali apabila rasanyanya berubah, atau baunya atau
warnanya. Adalah jawaban atas pertanyaan tentang air sumur bidoah.
Sebagaiman pada pembagian lafadz dari
sisi kejelasan maknanya terasa pengaruhnya ketika terjadi ta’arud. Demikian
juga pembagian lafadz dari sisi maksud mutakallim. Sebagai contoh adalah,
hadist Nabi SAW, “ masa haid paling sedikit adalah tiga hari dan paling banyak
adalah sepuluh hari.”[67]
Secara ibarah keterangan ini menunjukkan dengan jelas masa paling sebentar dan
paling lama haid. Juga diriwayatkan dari Rasululloh SAW beliau mengatakan,”
salah seorang diantara kalian tinggal dalam separuh waktunya di rumah tidak
sholat dan tidak puasa.” Maksudnya adalah kaum wanita menghabiskan separuh
usianya tidak sholat dan tidak puasa, isyarah nash ini menunjukkan bahwa masa haid
paling lama adalah lima belas hari, karena Nabi menyebutkan kegiatan dalam
separuh usia demikian, hal ini mempunyai implikasi makna masa haid setiap bulan
lima belas hari. Ada pertentangan antara ibarah nash dengan isyarah nash dalam
menerangkan masa haid paling lama. Maka ibarah nash ditarjihkan karena ia lebih
kuat.
Hukum yang tetap dengan sighatnya dengan disertai konteks
kalam adalah ibarah nash dan disebut “ tsabit biibaraoh nash. Hukum yang tetap
dengan sighotnya tidak disertai dengan makna konteks adalah isyrah nash dan
disebut tsabit biisyarah nash. Hukum yang tetap tidak dengan sighotnya tetapi
dengan sighot bahasanya adalah dilalah nash dan disebut tsabit bidalalah nash.
Hukum yang tetap tidak dengan sighot tidak pula makna shighot akan tetapi
dengan suatu unsur tambahan yang ada baik secara logika maupun syari’ adalah
muqtadla nash dan disebut tsabit bimuqtadlo nash. Demikianlah
tidak ada celah untuk menetapakn makna lafadz diluar ibarah nash, isyarah nash,
dilalah nash dan iqtidlo nash. Karena makna yang dikandung lafadz harus dalam
koridor maksud mutakallim. Menetapkan makna dengan berdasarkan teori
dekonstektualisasi dan rekonstektualisasi Paul Ricour hanya akan menghasilkan
hukum yang menuruti keinginan hawa nafsu. tidak ada hak manusia untuk melakukan
intervensi atas sesuatu hak Allah. Makna adalah apa yang dikehendaki oleh Allah
bukan apa yang dikehendaki manusia.
Pokok-pokok syariat yang sebagian besar masalah-masalah
aqidah, ibadah, muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) serta akhlak,
adalah perkara-perkara tsawabit ( yang tetap) yang bersifat qoti’ dan mawadai’
al ijma yang oleh Allah ditegakkan dengan hujjah-hujjah yang terang dalam
kitabNya, atau melalui lesan NabiNya SAW. Tak ada ruang untuk di dalamnya untuk
pengembangan atau untuk ijtihad. Barang siapa menyelisihinya maka ia telah
menyimpang.[68]
Adapun dalam perkara-perkara yang mutaghayyirat adalah perkara-perkara yang
tidak didukung oleh dalil yang qoti’ dari nash yang sahih atau ijma yang
sorih.Terbuka untuk dilakukan ijtihad untuk memahami maknanya. Imam Assyafii’
memberikan contoh kata (ุงููุฑุก) dalam ayat Al Quran. Ayat tersebut tafsirannya mengandung dua
makna, yakni suci dari haid dan haid.[69]
DAFTAR
PUSTAKA
Wan
Moh Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam SM. Naquib Al Attas,
Penerbit Mizan, Bandung, Ttt.
Imam
Syatibi, Al Muwafaqot fii Ushul As Syariah, Beirut Daar Kutub Al
Ilmiyyah,2005
Syamsuddin
Arief,Orientalisme dan Diabolisme Intelektual, Gema Insani,2008
Asep
Hidayat, Filsafat Bahasa, Remaja Rosda Karya Bandung,2006
E.
Sumaryono, Hermeneutika sebuah metode Filsafat, penerbit Kanisius, 1999
Muhammad
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta 2008
Abdulloh
Yusuf Mustofa Al Azzam, Dilalah Al Kitab Waassunnah ‘ala ahkam, jamiyyah
Al Azhar kulliyyah Assyariah Kairo Mesir 1993
Al
Sarkhasi, Ushul Al Sarkhasi, Daar Almarifah, Beirut 1993
Saifuddin
Al Amidy Al Ihkam fii Ushul al ahkam, Muassasah al Halabi Kairo
Abu
Ya’la, Muhammad ibn Al Husyn al Farra, Al uddah Fii Ushul Fiqh, Daarul Kutub Al
Ilmiyyah, (Beirut 2002)
Abdul
Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, Pustaka Amani, (Jakarta 2003)
Muhammad
Taufik Muhammad Said, Dilalah Alfadz ‘ala Al Maani, Maktabah Wahbah
Kairo 2009
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2008
Wahbah
Zuhaily, Ushul Fiqh Al Islami, Daarul fikr, Damaskus 1986
Al
Hambaly, Al Uddah fii ushul Fiqh, Daar Kutub Al Ilmiyyah, Beirut,
Lebanon
Abdul
karim Zaidan, Al Wajiz fii Ushul Fiqh, Daarussalam, Kairo 2004
Fazlurrahman,
Islam dan Tantangan Modernitas, Transformasi Intelektual, penerbit
pustaka, (Bandung 2005)
M.
Syahrur, Al Kitab wa Al Quran, Qiroah Al Muasiroh, terjemahan Prinsip
Dasar Hermeneutka Islam Kontemporer,
Adian
Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi,
Gema Insani, Jakarta 2006
[1] Kaidah ini penting untuk
menafsirkan teks-teks berbahasa Arab, karena kaidah-kaidah ini adalah parameter
dan rambu-rambu untuk memahami kalimat-kalimat berbahasa Arab, qonun apapun
yang berbahasa Arab dalam memahami lafadznya tunduk kepada parameter ini.
Mengabaikan kaidah bahasa ini dalam menafsirkan nash akan menyebabkan kesalahan
dalam memahami hukum yang berimplikasi pada kesalahan penerapan nash-nash.
[2] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktek Pendidikan Islam S.M. Naquib Al Attas, penerbit Mizan,
(Bandung, Ttt) h. 361
[3] Ibnu Faris mengatakan,” Berdasarkan
petunjuk analogi bahasa makna adalah maksud yang nampak dalam sesuatu apabila
dicari, yaitu yang nampak dalam kandungan lafadz. Lihat: Muhammad Taufik, Dilaalatu
al- Alfadz ‘Ala al-Ma’na, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009 ) h. 39
[4] Syamsuddin Arief, Prinsip-Prinsip
Dasar Epistemologi Islam, dalam jurnal ISLAMIA, Thn II,no.5/April-Juni
2005, h. 34
[5] Imam Asy- Syathibi, Al-
Muwaafaqot Fii Ushul Asy- Syariah, Daar Kutub al- ‘Ilmiyyah, (Beirut, 2005)
h. 24
[6] Syamsuddin Arief, Orientalis dan
Diabolisme Intelektual, Gema Insani, (Jakarta, 2008) h. 182
[7] Syamsuddin Arief, Orientalis dan
Diabolisme Intelektual, Gema Insani, (Jakarta, 2008) h. 180
[20] Jalaluddin Assuyuthi, Lubabunnuqul
Fii Asbaab An- Nuzuul, Daar Ma’rifah, (Beirut, 2000) h. 51-52
[21] Al Sarkhasi, Ushul Assarkhasi,
Daar Al Ma’rifah, Jilid 1, (Beirut, 1993) h. 163
[22] Muhammad Taufik Muhammad Sa’id, Dilaalatu
al- Alfadz ‘Ala Al- Ma’ani, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009) h. 573
[23] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Kencana Prenada Media Group, Jilid 2, (Jakarta, 2009) h. 6. Lihat juga:
Abdullah ‘Azzam, Dilaalatu al- Kitab wa as- Sunnah ‘Ala al- Ahkam,
Al Azhar Kulliyyat Syariah, (Mesir, 1993) h. 125
[24] Muhammad Taufik Muhammad Sa’id, Dilaalatul
al- Alfadz ‘Ala al- Ma’ani, Maktabah Wahbah, (Kairo, 2009) h. 575
[25] Al- Sarkhasi, Ushul Assarkhasi,
Daar Al- Ma’rifah, Jilid 1, (Beirut, 1993) h. 164
[63] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
Penerbit pustaka Firdaus 2008, hal 211
[64] Muhammad Ubaidillah Al Isadi, Al
Mujiz fii ushul fiqh, Daarussalam,(Mesir 1998), hal 178
[65] M. Syahrur Al Kitab Wa Al Quran;
qiroah muasiroh, terjemahan prinsip dasarhermeneutika hum
islam kontemporer, Yogyakarta,2007, hal 6 [66]
Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam SM Naquib
Al Attas, penerbit Mizan, hal 354
[67] Diriwayatkan secara marfu’ dan
mauquf, yang mauquf kebanyakan oleh Daaruqutny dalam kitab haid antara halaman
19 sampai 30. Sedangkan yang marfu’ diriwayatkan oleh Abi Imamah, wastilah bin
Asqo’, muadz bin jabal, Abu Said bin Al Khudri, anas bin Malik dan Abdulloh bin
amru bin Ash diriwayatkan oleh Attobroni, Daaruqutni, Ibnu Adi,Ibnu Hibban dan
Ibnu Jauzi ( Nasbu Royah 191-193, Daaru Qutni dengan ta’liq dari Al Mughni
jilid hal 218 dan Mujma’ azzawaid jilid 1 hal 385).
[68] Sholah Ash Showi, Atsawabit
walmutaghayyirat , Al Muntada al Islami, Daarul Ilam Ad Duwali , (Kairo
Mesir 1994) hal 67