IHYA' ULUMUDDIN



     Ihya’ Ulumuddin Kitab Fenomenal Sepanjang Masa

Hampir saja posisi Ihyâ’ menandingi al-Qur’an”. Sanjungan tersebut disampaikan oleh tokoh karismatik `Ulamâ’ul-islâm al-Imâm al-Faqîh al-Hâfizh Abû Zakariya Muhyiddîn an-Nawawi atau lebih dikenal dengan sebutan Imâm Nawawi Shâhibul-majmû`, yang hidup dua abad pasca Imâm Ghâzali.

Quthbil-’auliyâ’ as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus berpesan kepada segenap umat Islam untuk selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan penjelasan keduanya, menurut beliau, telah termuat dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn karya Imâm Ghâzali.

Dua komentar ulama tadi telah membuktikan keagungan kitab ini dan besarnya anugrah yang diraih oleh Imâm Ghâzali. Sampai-sampai kritikus dan peneliti Hadis Ihyâ’, al-Imâm al-Faqîh al-Hâfîzh Abûl Fadhl al-`Irâqi, turut memberikan apreseasi positif terhadap kitab yang ditakhrîjnya itu. Beliau menempatkan Ihyâ’ sebagai salah satu kitab teragung di tengah-tengah khazanah keilmuan Islam yang lain.

Begitu pula al-Faqîh al-`Allâmah Ismâ`il bin Muhammad al-Hadhrami al-Yamani ketika ditanya tentang karya-karya Imâm Ghâzali; beliau menjawab “Muhammad bin Abdillâh adalah sayyidul-’anbiyâ’, Muhammad bin Idris as-Syâfi’i sayyidul-a’immah, sedangkan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghâzali adalah sayyidul-mushannifîn“.

Sungguh agung sanjungan ulama-ulama tersebut terhadap kitab Ihyâ’ dan al-Ghâzali. Karenanya, tidak berlebihan bila Syârih (komentator) kitab tersebut, Murtadhâ az-Zabîdi, memunculkan sebuah imege “andaikan masih ada nabi setelah Muhammad r niscaya al-Ghâzali orangnya”.



Mengenal Ihyâ’ Ulûmiddîn
Disamping karena cakupan materi yang tersaji di dalamnya, kitab ini juga ditopang oleh jurnalistik yang sistematis. Sistematika penulisan yang begitu rapi menjadikan Ihyâ’ lebih menarik dan mudah dibaca oleh berbagai kalangan; sederhana, berbobot, dan tidak terlalu meluas dalam penyajian. Lagi pula istilah-istilah rumit juga jarang ditemui dalam pembendaharaan kata yang terpakai.

Imâm Ghâzali telah mengkonsep materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok. Dari masing-masing klasifikasi tersebut terdapat sepuluh entri pembahasan utama (kitab). Secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama pengetahuan Islam, yakni Syarî`at, Tharîqat, dan Haqîqat. Imâm Ghâzali juga telah mengkoneksikan ketiganya dengan praktis dan mudah ditangkap oleh nalar pembaca. Sehingga, as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus memberikan sebuah kesimpulan bahwa dengan memahami kitab Ihyâ’ seseorang telah cukup untuk meraih tiga sendi agama Islam tersebut.

Inilah dibeberapa alasan kenapa kitab ini sangat digemari oleh banyak kalangan. Oleh fukaha, Ihyâ’ dijadikan sebagai rujukan standar dalam bidang fikih. Oleh para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Kedua studi ilmu tersebut telah tercover dalam karya momumental Imâm Ghâzali ini. Karenanya al-Habîb Muhammad Luthfy bin Yahya, pimpinan Jam`iyah Tharîqah Mu`tabarah Nahdiyah yang sekaligus mursyid Tharîqah Naqsabandi, menyebut Ihyâ’ sebagai panduan utama tasawuf bagi pemula, atau dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tasawwuful-fuqahâ’.

Sebenarnya, tidak hanya dua kelompok ini yang banyak mereferensi Ihyâ’, Para teolog Islam juga menganggap penting untuk menempatkan Ihyâ’ sebagai bahan dasar kajian. Paradigma bertauhid yang disajikan Imâm Ghâzali di awal pembahasan kitab Ihyâ’ sangat membantu pada pencerahan akal dalam proses penggesaan Allah I. Imâm Ghâzali mampu mengarahkan logika pembaca pada sebuah kesimpulan yang benar dalam bertauhid dengan nalar berfikir yang tepat dan berdiri kokoh di atas dalil-dalil naqli.


Koreksi Terhadap Ihyâ’
Meskipun posisi Ihyâ’ di tengah-tengah keilmuan Islam sangat tinggi, bukan berarti kitab ini terlepas sepenuhnya dari koreksi dan kritik. Banyak sekali komentar negatif dan bantahan yang ditujukan kepada Imâm Ghâzali atas karya momumentalnya ini, utamanya dalam studi Hadis yang beliau sajikan.

Hadis-hadis Ihyâ’ ditengarai banyak bermasalah oleh beberapa kritikus Hadis. Keberadaannya menjadi sorotan utama dan sebagai bahan pokok kritikan para rival al-Ghâzali, semisal al-Hâfizh Abûl Faraj Abdurrahmân Ibnu al-Jauzi. Ibnul Jauzi yang dikenal anti Ihyâ’ banyak memfonis palsu pada hadis-hadis yang ditulis Imâm Ghâzali dalam kitab tersebut.
Dinamika inilah yang selanjutnya diangkat kepermukaan oleh kelompok ekstrimis dan orentalis untuk menolak sepenuhnya isi kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn. Lebih-lebih, kelompok ini tanpa malu-malu menyebut al-Ghâzali sebagai pemalsu hadis. Pemalsuan tersebut, dalam pandangan mereka, merupakan hal wajar karena Imâm Ghâzali tidak membidangi studi hadis dalam kajian keislamanya.

Membela Ihyâ’ Al-Ghâzali
Benarkah al-Ghâzali pemalsu hadis? Atau memang beliau tidak membidangi studi ini? Dan apakah kitab Ihyâ’ banyak memuat Hadis palsu sehingga tidak layak untuk dipelajari? Berikut sebagai bahan pertimbangan ilmiah sebelum pembaca ikut mengiyakan tuduhan tersebut.


Pertama, apabila dikatakan bahwa kitab Ihyâ’ banyak memuat Hadis-hadis palsu dan tidak terdapat landasan ilmiah dalam pembelaannya, maka tuduhan ini terlalu tergesa-gesa.
Terhitung, hanya tiga redaksi Hadis yang diklaim maudhû` oleh al-Hâfizh al-`Irâqi ketika mentakhrîj lebih dari empat ribu limaratus hadis yang ditampilkan Imâm Ghâzali dalam kitab Ihyâ’-nya. “Bilangan tersebut sangatlah kecil” tutur al-`Irâqi. Lebih-lebih, apabila kita memandang jumlah Hadis yang ditampilkan oleh Imâm Ghâzali secara keseluruhan. Setidaknya, kuantitas hadis Imam Ghazali dalam kitab Ihyâ’-nya telah setingkat dengan beberapa kitab sunan, semisal Sunan Abî Dâwud, Sunan Nasâ’i, dan bahkan dapat dikatakan melebihi bilangan hadis yang terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah.

Lebih lanjut, al-`Irâqi juga memberikan sebuah pembelaan bahwa sebagaian dari Hadis maudhû` tadi disampaikan tanpa memakai shîghat riwayat. Sehingga, dalam studi methodologi Hadis, Imâm Ghâzali tidak dapat diposisikan sebagai perawi yang mendapat ancaman dari baginda nabi Muhammad SAW.


Kedua, perlu dipahami bahwa ketiga Hadis tadi bukanlah refensi utama Imâm Ghâzali, malainkan sekedar tambahan dari dalîl shahîh yang mendasari ijtihadnya. Imâm Ghâzali selalu mendahulukan landasan ijtihadnya dengan dasar yang shahîh sebelum kemudian menampilkan dalil lain yang selevel atau di bawahnya.

Dan sekali lagi, bilangan tersebut sangatlah kecil. Tentu sangat na’if bila bagian kecil dari kekeliruan (untuk tidak mengatakan kesalahan karena keduanya memiliki perbedaan makna yang signifikan) tersebut dapat menghapus pada seluruh kebenaran yang terkandung dalam kitab Ihyâ’. Generalisasi seperti ini merupakan salah satu bentuk paralogis yang biasa dipakai oleh bandit intelektual ketika menghantam lawan pemikirannya. Atau dalam istilah kita disebut dengan gebyah uyah tanpa memandang esensi kebenaran lain yang lebih berharga.


Ketiga, apabila dikatakan bahwa Imâm Ghâzali tidak kapabel dalam studi Hadis maka sangat keliru sekali. Al-Mustashfâ karya al-Ghâzali di bidang Usul Fikih cukup kiranya untuk membuktikan kapabelitas beliau dalam bidang kajian Hadis. Dalam kitab tersebut, tepatnya pada entri pembahasan sunnah, Imâm Ghâzali telah panjang lebar menuturkan konsep dan perdebatan ulama mengenai dinamika kajian Hadis, utamanya yang berkenaan dalam proses istinbâtul-ahkâm. Bahkan, al-Ghâzali juga sempat memberikan tarjîh ketika terjadi perselisihan alot antara ulama, baik itu yang muncul dari kalangan ushûliyyin atau muhadditsîn.


Keempat, ancaman Rasulullah r kepada para pemalsu Hadis hanya tertuju kepada pemalsu yang sengaja berspekulatif. Hal tersebut terbukti dari tambahan redaksi `amdan atau muta`ammidan dalam beberapa riwâyat shahîh dari kutubis-sittah.

Husnuzh-zhan kita, kesengajaan dalam pemalsuan Hadis tidak akan terjadi pada ulama sekaliber al-Ghâzali. Terlalu rendah intelektualisme al-Ghâzali bila harus memalsukan Hadis untuk menopang pemikirannya. Imâm Ghâzali sendiri telah meletakkan sebuah prinsip bahwa pemalsuan Hadis dengan alasan apapun tidak diperkenankan. Pernyataan tersebut sebagai penangkis terhadap dugaan bolehnya memalsukan Hadis untuk fadhâ’ilul-a`mâl atau pencegah tindakan tercela. Menurut al-Ghâzali keberadaan ayat dan Hadis sahih telah cukup untuk memenuhi tujuan tersebut.

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa penulisan Hadis palsu dalam literatur Imâm Ghâzali muncul dari unsur ketidak sengajaan atau keliru. Dalam pembendaharaan kata arab istilah yang dipakai untuk menyatakan makna ini adalah kata khatha’ bukan ghalath. Abû Hilâl al-Hasan Abdullâh bin Sahal al-`Askari membedakan antara keduanya dengan menitiktekankan terhadap ada dan tidaknya unsur kesengajan. Jika memang sengaja maka disebut ghalath dan khata’ apabila sebaliknya.

Kemudian, kesimpulan ini dihadapkan pada sabda Nabi r “rufi`a `an ummati al-khata’“, yakni diantara perbuatan umat Islam yang dimaklumi (dimaafkan) adalah tindakan yang muncul tanpa adanya unsur kesengajaan (khatha’); bukan yang memang bertujuan salah (ghalath). Karenanya, tiada dosa bagi tindakan yang muncul tanpa disengaja. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni telah mengutip adanya konsesus ulama akan hal ini, termasuk keliru dalam meriwayatkan Hadis. Lalu, akankah kita menghukumi al-Ghâzali sebagai pendosa dan pendusta?


Kelima, apabila kita bercermin pada takhrîj al-Hafizh al-Irâqi, maka tidak akan ditemukan lebih dari tiga Hadis yang disepakati kepalsuannya. Namun, berbeda apabila kita mengacu pada komentar al-Hâfizh Ibnu al-Jauzi. Terdapat sekitar dua puluh lima Hadis yang diklaim maudhû` olehnya. Ibnul Jauzi memang dikenal sebagai ulama yang sembrono dalam memfonis palsu sebuah Hadis. Sikap kontroversi Ibnul Jauzi ini banyak mendapat sorotan kritis dari para muhadditsîn. Sehingga, banyak klaim yang dilontarkan Ibnul Jauzi justru mendapat bantahan balik.

Al-Hâfizh al-`Irâqi dan al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sanggahan khusus terhadap tuduhan palsu Ibnul Jauzi akan kesahihan beberapa riwayat Imâm Ahmad. Sedangkan al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthi menulis Al-Qaul al-Hasan fîdz-Dzabbi `anis-Sunnan yang secara umum membantah segenap tuduhan palsu Ibnul Jauzi terhadap riwayat Imâm Bukhâri, Muslim, Ahmad, Dâwud, Turmuzi, Nasâ’i, Ibnu Mâjah, Mustadrak al-Hâkim, dan beberapa Hadis lagi di berbagai literatur yang lain.

Ringkasnya, sebagaimana yang telah disimpulakan oleh as-Syaikh Muhammad Mahfûzh bin Abdullâh at-Turmûsi, mayoritas Hadis yang diklaim palsu oleh Ibnul Jauzi dalam beberapa karya kritisnya, semisal Al-Maudhû`at dan Al-`Ilal al-Mutanâhiyah, adalah hadis shahîh, hasan atau juga dha`îf. Kesimpulan ini diperkuat dengan adanya pernyataan Ibnu Shalâh bahwa Ibnul Jauzi memang banyak memfonis palsu terhadap Hadis dha`îf tanpa ada dasar kepalsuan.

Fakta lain berbicara mengejutkan ketika kita menyimak berbagai karya Ibnul Jauzi; tidak hanya kedua kitab di atas, utamanya di bidang mawâ`izh dan tasawuf, semisal Bahrud-Dumû` dan Al-Wafâ fî Ahwâlil-Mushtafâ. Kedua kitab ini banyak memuat Hadis palsu lebih dari isi kitab yang ia kritisi. Sampai-sampai, Dr. Ibrâhîm Bâjis bin Abdul Majid dan Dr. Mushtafâ Abdul Qadîr `Athâ terkejut akan kenyataan ini. Sosok Ibnul Jauzi yang terbilang berlebihan dalam kritik Hadis dan keras menentang cerita-cerita aneh, justru karya-karyanya dipenuhi oleh kedua hal tersebut. Ibnul Atsir sejarawan abad VII juga menyatakan keterkejutan serupa dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh-nya.

Untuk itu tidak salah apabila al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sebuah kritik pedas bahwa “mayoritas riwayat yang termuat dalam karya-karya Ibnul Jauzi (selain kitab kritik hadisnya) adalah maudhû’. Riwayat yang perlu dikritisi lebih banyak daripada yang tidak”. Bahkan Ibnul Jauzi tidak segan untuk mengutip sebuah riwayat dari karya yang pernah dikritisinya, atau sekedar menukil Hadis-hadis yang telah difonis palsu dalam kitab Al-Maudhû`ât-nya.

Namun, bukan berarti menyerang balik terhadap sebuah kenyataan yang sama pahitnya. Menyimak fakta ini, kita juga perlu bersikap bijak tanpa mengkesampingkan etika intelektualitas melalui sisi pandang kebenaran yang lain.


Keenam, mengenai perselisihan dalam status hukum maudhû` yang muncul dari penilaian Imam Hadis selain Ibnul Jauzi, cukup kiranya diketahui bahwa hal tersebut masih dalam ranah ijtihâdi yang tidak perlu dielukan. Penilaian muhaddits dalam studi kritiknya memang cenderung beragam, karena fonis palsu dalam kritik Hadis hanyalah aplikasi dari sebuah praduga yang tidak menutup adanya kemungkinan keliru. Lebih-lebih, apabila kritik diarahkan pada mata rantai periwayatan.

Dan lagi, jumlah yang diperselisihkan itu terbilang sangat sedikit; tidak lebih dari tiga redaksi Hadis. Diantaranya adalah Hadis yang menyebutkan keutamaan membaca Fâtihatul-Kitâb dan dua ayat dari surat Ali `Imrân yang diklaim palsu oleh Imâm Ibnu Hibbân. Di dalam rangkaian sanad Hadis tersebut terdapat Al-Haris bin `Amîr yang menurut Ibnu Hibbân sebagai sosok periwayat Hadis palsu. Namun, tuduhan ini dibantah oleh al-Hâfizh al-`Irâqi. Al-Hâfizh melandasi bantahannya pada label tsiqqah yang telah diberikan oleh Hammâd bin Zaid, Ibnu Mu`in, Abû Zar`ah, Abû Hâtim, dan Imam Nasâ’i kepada Al-Haris bin `Amîr.


Penutup

Wal hasil, sebesar apapun kritikan terhadap Ihyâ’ Ulûmiddîn secara khusus dan literatur-literatur salaf yang lain secara umum tidak akan mengurangi nilai kebesaran yang telah diraihnya. Pembuktian secara ilmiyah dan obyektif telah memberikan bantahan nyata terhadap kritik dan tuduhan yang tidak berdasar itu. Sejarah juga turut menjadi bukti akan kebesaran mereka. Wallâhu a`lam.

Special Thanks to Qultu Man Ana….

Hermeneutika Al Qur'an

Hermeneutika Al Qur'an


HERMENEUTIKA-KONTEKTUALITAS SEBAGAI GAGASAN PENAFSIRAN ABDULLAH SAEED

Presented by : Aisyah Izzah Billah Ajhury M.Pd.I
  Dosen Pembimbing  : Prof. Dr. Amin Abdullah MA.

A.    Pendahuluuan
Kajian terhadap penafsiran al-Qur’an dari segi metodologinya telah banyak dilakukan untuk menggali kembali pemahaman serta kemungkinan makna-makana yang terkandung di dalamnya. Usaha-usaha untuk memahami segi kebenaran al-Qur’an  dalam sejarahnya telah sejak lama mengalami proses pergumulan intelektual yang cukup serius, walaupun bisa diambil pemahaman bahwa pergulatan tersebut muncul hanya sampai pada bagian persepsi atau pada sisi metodologis dan hasil pemahamannya, bukan pada meragukan akan kebenaran al Qur’an.
Abdullah saeed merupakan salah satu pemikir yang menteorikan tentang sisi metodologis studi al Qur’an dalam beberapa cetusan idenya.Kontektualisasi pemahaman penafsiran dan pengaplikasiannya merupakan sasaran tujuan ide dari Abdullah Saeed. Berikut sajian makalah yang akan memberikan uraian terhadap gambaran Abdullah Saeed dalam langkah hermeneutika-kontektualisasi penafsiran al-Qur’an.

B.     Riwayat Akademik Abdullah Saeed
Berikut adalah perjalanan akademik Abdullah Saeed yang dilahirkan di Maladewa. Abdullah Saeed aktif sebagai dosen di Universitas ini dan menjadi pengampu mata kuliah Studi Islam diantara pelajarannya adalah Great Texts of Islam: Qur’an; Muslim Intellectuals and Modernity, Great Empires of Islamic Civilization, Islamic Banking and Finance, Qur’anic Hermeneutics, Methodologies of Hadith, Methods of Islamic Law, Religious Freedom in Asia, Islam and Human Rights, and Islam and Muslims in Australia.
1.      Mendapatkan gelar BA dalam studi Islam di Arab Saudi pada tahun 1986
2.      Mendapatkan gelar Master of Art di Universitas Melbourne pada tahun 1993, dan menjadi professor pada tahun 2003 di Universitas yang sama.
3.      Mendapatkan beasiswa di Arab Saudi, Pakistan dikombinasikan dengan pelatihan pascasarjana di Arab, Studi Islam di Australia.
4.      Memiliki kemampuan dalam berbagai disiplin ilmu Arab dan termasuk di dalamnya disiplin ilmu Islam: Dari bahasa Arab dan sastra Qur’an, penafsiran, hukum Islam, sejarah Islam untuk pemikiran Islam modern (termasuk bidang-bidang seperti hak asasi manusia dan keuangan Islam) serta Islam di Barat.
5.      Pengalaman yang luas dalam mengajar bahasa Arab, Studi Asia di tingkat sarjana dan pascasarjana.
6.      Fasih berbahasa Inggris dan dua bahasa besar Islam: Arab dan Urdu, dan merupakan penutur asli bahasa Maladewa.
7.      Menunjukkan kemampuan untuk membuat kontribusi yang signifikan terhadap beberapa daerah di pemikiran Arab / Islam modern.
8.      Penelitian dan publikasi kepentingan di beberapa daerah yang menarik perhatian dalam periode modern
9.      Pengalaman yang luas dalam penggunaan teknologi informasi dalam desain dan pengembangan kursus di Arab / Studi Islam.
10.  Track rekor dalam mengembangkan Program Studi Islam dari di Universitas Melbourne yang juga salah satu universitas riset paling intensif di Australia.
11.  Dianggap menjadi salah satu pemikir Muslim terkemuka yang berbasis di Barat
12.  Kontributor untuk debat publik tentang Islam di Barat / Australia.[1]

C.    Karya-Karya Abdullah Saeed
Beberapa karya yang dihasilkan oleh Abdullah saeed adalah: Approaches to Qur’an in Contemporary Indonesia (2005), Freedom of  Relegion, Apostasy and Islam  (2004), Islam In Australia (2003), Islam and Political Legitimacy (2003) Islamic Banking and Interest(1999).Interpreting the Qur’an, toward a contemporary approach (2006).[2]

D.    Pemahaman Teks Al Qur’an Dalam Pandangan Abdullah Saeed
Abdullah Saeed memberikan beberapa ragam gambaran pemahaman terhadap penafsiran al Qur’an yang dimanifestasikannya dalam beberapa terminologi yang masing-masing mempunyai ciri tersendiri dan juga memiliki arah pemahaman yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.Dari beberapa pendekatan pemahaman yang diberikan oleh Abdullah Saeed, antara satu pemahaman dengan pemahaman yang lainnya memeiliki diferensiasi yang tidak mempertemukan masing-masing pemikiran ini.
1.      Tektualis
Abdullah saeed menyatakan bahwa kelompok tekstualis meyakini bahwa makna al Qur’an itu sudah fixed dan harus diaplikasikan secara universal. Kelompok salafi termasuk penganut tipologi ini.Yang dimasukkan sebagai bagian dari penganut tipologi ini adalah mereka yang dimasukkan dalam kategori salafi.
1.      Semi tektualis
Pemikiran semi-tektualis dianggap berusaha membela makna literal al Qur’an dengan cara menggunakan idiom-idiom modern serta memakai argumentasi yang rasional. Dikategorikan dalam kelompok ini adalah al-ikhwan al-Muslimin di Negara Mesir dan juga jama’at Islami di Negara India.
1.      Kontektualis
Kelompok ini memposisikan diri berada dalam golongan yang mendorong pada pemahaman al-Qur’an dengan tidak mengesampingkan konteks politik, sosial, kesejarahan, budaya serta termasuk di dalamnya adalah ekonomi, di mana al Qur’an diturunkan, dipahami serta sesudahnya diaplikasikan.Tipologi seperti ini merupakan tipologi yang juga diikuti oleh Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan tentunya oleh Abdullah Saeed sendiri.
E.     Landasan Teoritis Abdullah Saeed Dalam Penafsiran Kontekstual.
1.      Adanya keterkaitan antara wahyu dan konteks sosio-historis yang mengitarinya. yang menunjukkan bahwa wahyu harus dipahami dalam konteks sosio-historis tersebut.
2.      Fenomena fleksibilitas dalam cara membaca al-Qur’an (sab’ah ahruf) dan pengubahan hukum mengikuti situasi dan kondisi yang baru (naskh) yang menunjukkan bahwa al-Qur’an, sejak awal pewahyuannya, telah berdialektika secara aktif dengan audien pertamanya. Fenomena ini menginspirasikan hal yang sama untuk masa-masa berikutnya.
3.      Kondisi al-Qur’an yang secara internal (ayat-ayat teologis, kisah, dan perumpamaan) tidak dapat dipahami dengan pendekatan tekstual ansih.[3]
F.     Prinsip-prinsip Epistemologis Hermeneutika Kontekstual Abdullah Saeed.
1)      Mengakui kompleksitas makna.
2)      Memperhatikan konteks sosio-historis penafsiran. Karena al-Qur’an turun dalam dan berdialektika dengan konteks sosio-historis pada masanya maka ia harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam penafsiran.
3)      Merumuskan hirarki nilai bagi ayat-ayat ethico-legal untuk menentukan mana yang berubah dan mana yang tetap.
G.    Prinsip-prinsip Empat Tahap Kerangka Kerja Penafsiran Abdullah Saeed.
1)      Bertemu dengan dunia teks
2)      Melakukan analisis kritis.
3)      Menemukan makna teks bagi penerima pertamanya.
4)      Menentukan makna dan aplikasi teks bagi masa kini. Hermeneutika kontekstual memberikan sumbangsih yang berarti bagi hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman terutama melalui perumusan hirarki nilai.Bagi hermeneutika al- Qur’an secara umum, dengan aksentuasi dan orientasinya yang berbeda, hermeneutika kontekstual telah memberikan sumbangan baru bagi metodologi penafsiran al-Qur’an khususnya kontemporer.
H.    Keterpengaruhan Abdullah Saeed Oleh Pemikiran Fazlurrahman.[4]
Metode penafsiran al-Qur’an Fazlur Rahman adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada suatu gerakan ganda (double movement); dari situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu kembali lagi ke masa sekarang dan metode penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya sama dengan metode double movement-nya Fazlur Rahman
Ada beberapa indikasi dan bentuk keterpengaruhan Saeed atas ide-ide Rahman:
1.      Saeed pernah menulis sebuah artikel yang membahas tentang kerangka penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan oleh Rahman;
2.      Adanya kemiripan pandangan tentang dunia al-Qur’an:
3.      Adanya kemiripan dalam model interpretasi al-Qur’an, yakni teori gerakan ganda (double movement)-nya Rahman dan kontekstual (contextual)-nya Saeed;
4.      Adanya pernyataan-pernyataan yang diberikan Saeed dalam karya-karyanya bahwa inovasi metodologi penafsiran yang dikenalkan oleh Rahman telah memberikan kontribusi penting dan sangat berkaitan dengan pembahasan yang dia tawarkan dalam metode penafsirannya terhadap konten ethico-legal al-Qur’an.
I.       Model tawaran penafsiran Fazlurrahman dan Abdullah saeed
Dalam memberikan penafsiran, fazlurrahman sudah luas dikenal dengan teori gerakan ganda (double movement), dimana tercakup dalam penjabaran teori ini, rahman berkeyakinan bahwa sebuah pemahaman dan ilmu pengetahuan tidaklah memiliki sebuah ketetapan atau hasil akhir yang sudah final.
Menurut Fazlurrahman corak penafsiran yang diwarisi dari tradisi keislaman zaman klasik telah gagal memaparkan pesan-pesan al-Qur’an secara pada dan koheren.
Akibat dari kaidah menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat, serta kecenderungan terhadap penggunaan ayat-ayat al-Qur’an secara atomistic, para mufassir dan umat Islam pada umumnya tidak dapat menangkap keterpaduan pesan al-Qur’an yang dilandaskan pada suatu pandangan dunia yang pasti.[5]
J.      Sumbangan Saeed bagi metode penafsiran Fazlur Rahman
Adapun beberapa hal yang bisa dianggap sebagai Sumbangan Saeed yang paling berarti bagi metode penafsiran al-Qur’an Rahman adalah rumusan hirarki nilai-nilainya, yaitu:
1.      Nilai-nilai yang bersifat wajib (obligatory values);
2.      Nilai-nilai fundamental (fundamental values);
3.      Nilai-nilai proteksional (protectional values);
4.      Nilai-nilai implementasional (implementational values);
5.      Nilai-nilai instruksional (instructional values).[6]
K.    Validitas Tafsir Bi Al-Ra’y Dalam Pandangan Abdullah Saeed
Pada titik ini layak melihat bentuk tafsir berdasarkan alasan bahwa ada beberapa hal yang oleh kaum muslim dianggap bermasalah. Yang pertama adalah interpretasi dari teks hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi dan tanpa memperhatikan bukti-bukti linguistik, sejarah atau kontekstual.ini dapat terjadi dalam beberapa cara. Satu, adalah ketika penafsir mengenakan pada teks makna yang kurang jelas, sehingga menolak arti yang paling jelas dan relevan.Dalam interpretasi, arti yang paling jelas dari teks ini memiliki tempat penting dan biasanya tidak harus dibuang dalam mendukung lainnya tanpa alasan yang sah atau bukti.
Bentuk kedua adalah ketika makna dikenakan pada teks untuk alasan pribadi atau tujuan.jika penafsir mencari pembenaran untuk pandangan tertentu, ia dapat memberikan pada teks sebuah arti yang sesuai dengan tujuan pribadi. misalnya, jika subjeknya adalah hak para perempuan dan penafsir ingin membenarkan posisi tertentu pada monogami, misalnya, ia dapat membaca ke dalam ayat Al qur’an, memberikan makna tertentu yang diinginkan, sekali lagi mengabaikan segala bentuk bukti lainnya yang tersedia.
Ketiga  adalah di mana teks memiliki dua atau lebih makna dan memilih satu arti tanpa memperhatikan konteks dan teks-teks Alquran lain yang tersedia. contoh adalah ayat yang mengatakan bahwa muslim tidak boleh menempatkan diri mereka di jalan bahaya (la tulqu  bi aydikum ila At-tahlukah). jika teks itu diartikan bahwa muslim tidak harus bertindak dalam situasi apa pun di mana ada potensi bahaya, ini akan bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an banyak yang menekankan nilai-nilai seperti berusaha ditafsirkan tidak hanya dengan melihat teks itu sendiri tetapi juga dengan menghubungkannya dengan perintah-perintah Al-Quran lainnya dan prinsip-prinsipnya.
keempat terjadi ketika individu memiliki gagasan sebelumnya dan bermaksud untuk mendukung ide bahwa dengan memilih teks Alquran. dalam kasus seperti orang itu memaksakan makna khusus pada teks daripada mencari arti yang paling sah. contoh penafsiran seperti banyak di contohkan pada buku-buku, dengan berbagai interpretasi teologis cocok dalam kategori ini. Interpretasi tertentu dengan teolog mutazili, sepertiZamakhshari, atau beberapa makna esotoric dikemukakan oleh ulama syi’ah (dikenal sebagai  batinis) adalah contoh. para sarjana ini terakhir menafsirkan istilah bahrayn (dua badan air) di dia telah membiarkan dua badan yang mengalir air (bahrayn) pertemuan bersama (Q.55: 19) sebagai Ali dan Fatimah. Mereka juga ditafsirkan AL-Lu’lu (Mutiara) dan al-Marjan (karang) di luar mereka (dua badan air) datang dan karang mutiara (Q: 55:22) sebagai Hasan dan Husain, cucu dari nabi dan dua Imam Syi’ah
Contoh-contoh dari tafsir berdasarkan ra’y dapat dimasukkan dalam kategori tidak dapat diterima karena mereka tidak mencoba untuk melihat arti keseluruhan teks Al-Quran atau untuk menjelajahi makna dan prinsip-prinsip yang terkait, baik linguistik, sejarah, sosial, budaya, moral, etika atau hukum. Interpretasi ini adalah produk dari imajinasi penerjemah. Interpretasi untuk tingkat substansial bersifat pribadi, terlepas dari apa yang diketahui dari alat aktual dan mekanisme. Ada dimensi subjektif untuk setiap interpretasi hanya karena pengalaman dari mereka yang terlibat dalam penafsiran yang unik.Ini tidak harus mengarahkan kita untuk menunjukkan bahwa, karena subjektivitas, tafsir berdasarkan ra’y harus dikeluarkan dari bidang tafsir yang valid atau bisa diterima.
Kita tidak dapat menyangkal bahwa banyak literature tafsir yang kita miliki saat ini sebagian besar didasarkan pada ra’y. Jika tafsir harus didasarkan sepenuhnya pada tradisi, maka akan ada pembacaan yang kering dalam membaca ayat al Qur’an yang diperjelas oleh hadits penjelas atau laporan dari para sahabat yang ditelusuri kembali sampai kepada Nabi. Dengan menerima pandangan ini, berarti menolak banyak literatur tafsir. Mungkin karena alasan inilah Ibnu Taimiyah, meskipun berdiri di atas tafsir yang didasarkan pada tradisi, harus mengakui bahwa tafsir berdasarkan pengetahuan tentang subjek dan bukan bukti tekstual bertentangan harus dipertimbangkan kembali.Top of Form
Kecenderungan tradisi tafsir secara keseluruhan adalah untuk menampung sebanyak mungkin arti berdasarkan tradisi yang didasarkan pada akal.Meskipun ini bersifat inklusif, ketika datang ke isi hukum etik dalam al Qur’an ada hampir setiap variasi dalam tafsir di seluruh ruang pembelajaran hukum.Secara keseluruhan, semua menafsirkannya dalam kerangka tekstualis.Konsistensi ini dapat dijelaskan sebagian oleh kenyataan bahwa dasar-dasar fiqih dan aturan yang terkait dengan masalah etika hukum yang disepakati pada awal sejarah Islam dan diberi finalitas yang tak tertandingi selama berabad-abad.[7]
Menurut Ali As-Shabuni dalam “At Tibyan fii ulumil Quran”, yang dimaksud Tafsir Bi ar Ra’yi, bukan berarti menafsirkan Al qur’an sesuai dengan pendapatnya mufasir, akan tetapi yang yang dimaksud Tafsir bi ar Ra’yi adalah ijtihad berdasarkan ushul yang shahih, kaidah-kaidah yang selamat, wajib mengambil mutiara-mutiara yang dimaksud di dalam tafsir Alquran, atau maksud dari penjelasan makna-makna. Jadi bukan menafsirkan Alquran berdasarkan pendapatnya semata atau hawa nafsunya semata.Bahkan banyak sekali hadis yang mengingatkan, kita tidak boleh main-main dengan penafsiran Alquran.Sekalipun penafsiran yang muncul itu ternyata benar, maka ini tetap dinilai sebagai suatu kesalahan.
Ancaman bagi orang-orang yang menafsirkan Alquran dengan pendapatnya sendiri adalah neraka. Sabda Rasulullah Saw: “Barang siapa yang berbicara mengenai Al-qur’an sesuai dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah bersiap-siap mengambil tempatnya di neraka”. Ancaman ini tentunya tidak main-main, karena melibatkan murni hanya ro’yu saja akan mempunyai peluang besar jatuh dalam pemahaman yang salah karena tidak ada bimbingan yang benar di dalam cara memahaminya [8]
L.     Macam-Macam Kelompok Pemikir Menurut Abdullah Saeed
Abdullah Saeed memberikan pemisahan serta pembedaan terhadap kelompok-kelompok pemikir menjadi enam kelompok pemikir:
1.      The legalist-traditionalist, yang titik tekannya adalah pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra modern;
2.      The theological puritans, yang fokus pemikirannya adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam;
3.      The political Islamists, yang kecenderungan pemikirannya adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam;
4.      The Islamist Extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan baik muslim ataupun non-muslim;
5.      The Secular Muslims, yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter);
6.      The progressive ijtihadists, yaitu para pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar bisa menjawab kebutuhan masyarakat modern. Pada katagori yang terakhir inilah posisi muslim progresif.[9]

M.   Perlukah Menafsirkan Al-Qur’an Secara Hermeneutika?
Masalah penafsiran umum merupakan problema dasar yang diteliti oleh hermeneutika, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan.Maka dari itu, hal yang ingin dicarikan solusinya merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turots (tradisional) pada satu sisinya.[10] Titik pangkal yang merupakan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik adalah terletak pada konsentrasi atas hubungan mufassir dengan teks.
Umat Islam dalam upayanya memahami segi-segi kebenaran al-Qur’an sudah sejak lama mengalami pergulatan intelektual yang sangat serius; walaupun dapat dikatakan pergulatan tersebut muncul pada tataran persepsi atau pada aspek metodologis pemahamannya serta pada hasil pemahamannya, Bukan pada kesangsian akan kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
Upaya memahami dan menafsirkan al-Qur’an pada dasarnya telah berjalan sejak generasi pertama Islam, bahkan pada tahap tertentu dapat dikatakan Nabi Muhammad sendiri telah melakukan upaya yang sama meskipun tidak dapat dikatakan demikian. Meskipun setiap muslim yakin bahwa ia tidak mungkin salah dalam memahami atau menafsirkannya, karena Allah selalu mengontrol fikiran dan perkataannya. Pada perkembangan berikutnya, cara untuk memahami serta menafsirkan al-Qur’an ini dibakukan dalam satu disiplin ilmu tertentu yang kemudian sekarang kita kenal sebagai ilmu tafsir.
Sebagai langkah usaha untuk memahami dan menerangkan maksud ayat-ayat suci al-Qur’an, ilmu tafsir al-Qur’an telah banyak memunculkan karya-karya besar penafsiran.Seiring dengan tuntutan zaman, dinamika kegiatan penafsiran tersebut pun berkembang.Latar belakang individu serta kelompok manusia bahkan turut pula memperkaya hasil tafsir dan metode pendekatan memahami al-Qur’an dengan segala kelebihan serta kekurangannya.
Teori dan konsep tentang bagaimana sebaiknya al-Qur’an ditafsirkan dan difahami telah banyak bermunculan. Di anatara tema yang sering menjadi bahan diskusi dan berkembang dalam dunia tafsir dan ilmu tafsir adalah bagaimana memahami al-Qur’an secara kontekstual atau dengan bahasa lain, bagaimana membumikan al-Qur’an.
Pemahaman terhadap al-Qur’an yang kontekstual merupakan kebutuhan umat Islam yang merujuk kepada al-Qur’an dalam setiap aspek kehidupan. Sedang di fihak lain, tafsir yang kontekstual itu tentunya akan menjadi bukti bahwasannya al-Qur’an memang merupakan petunjuk yang final dan bisa dioperasionalkan dalam berbagai ruang dan waktu.
Betapapun ideal kontekstualisasi al-Qur’an tidaklah begitu saja mudah untuk dilaksanakan, akan tetapi usaha guna ke arah sana telah berlangsung telah sejak lama. Banyaknya kemunculan kitab tafsir al-Qur’an dengan tokoh dan cirri khasnya masing-masing dalam khazanah kepustakaan muslim, yang berusaha untuk memahami al-Qur’an secara kontekstual dalam arti menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada zaman ketika tafsir tersebut disusun secara operasional dan fungsional merupakan bukti akan hal itu.[11]
Sealur dengan kebutuhan dan tantangan akan suatu metode penafsiran yang bercorak kontekstual sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dalam dunia filsafat telah berkembang satu “metode penafsiran” yang dipandang cukup representative dan komprehensif untuk mengelola teks serta secara intensif dalam menggarap kontektualisasi. Maka dengan refleksi radikal dan analisa sistimatisnya, tidak heran apabila kemudian “metode penafsiran” ini oleh kalangan tertentu dianggap memiliki akurasi dan validitas yang tinggi ketika mengelola teks, dan metode ini biasa dikenal sebagai hermeneutika.
Pada prinsipnya hermeneutika merupakan suatu metode atau cara guna menafsirkan symbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, yang mana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.[12]
Ditinjau dari sisi epistemology, sumber dari hermeneutika adalah akal semata, oleh karena itu hermeneutika memuat dzon (dugaan), syak (keraguan), mira’ (asumsi). Adapun sumber epistemology tafsir adalah al-Qur’an, disebabkan hal tersebut maka tafsir terikat dengan ajaran yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw.[13]

N.    Analisa
Kontektualisasi penafsiran al-Qur’an merupakan sesuatu yang pada dasarnya niscaya sebagai kebutuhan yang memang diperlukan oleh kaum muslimin. Namun dengan model pemaksaan makna terhdapnya maka justru akan menghasilkan suatu produk yang kontra produktif dengan harapan dapat diterimanya al-Qur’an sebagai Sholih Likulli zaman wa Makan.
Hal yang dilakukan oleh Abdullah Saeed pun akan bernasib demikian jika tidak mengambil acuan pada penafsiran al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah mapan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh para peletak fondasi penafsiran. Sebagaimana yang dilakukan oleh Fazlurrahman yang notabene dijadikan sebagai rujukan oleh Abdullah Saeed dalam kontekstualitas penafsiran Al qur-an.  Dengan ide double movementnya ini Fazlurrahman telah menjadikan hukum-hukum Al Quran tunduk dibawah situasi-situasi kondisional yang terus menerus berubah. Al quran tidak dijadikan imam yang ditaati. Namun ajaran-ajarannya dikompromikan agar sesuai dengan selera hawa nafsu. hukum-hukum syari’ yang qoti’ dalam makna dzahir, nash, mufassar bahkan muhkam dinegasikan.
Fazlurrahman telah menolak keharaman riba, pembolehan poligami, hudud dan hukum-hukum Islam lainnya.  Menurut Rahman, Al Quran ketika diturunkan dipengaruhi oleh situasi historis saat itu. Sehingga ia merasa perlu mengklasifikasikan idea moral dan legal spesifik. Karena kondisi sekarang berbeda ia mengatakan yang berlaku adalah idea moral dan bukan legal spesifik. Dalam menolak poligami ia beralasan kondisi Arab ketika Al Quran diturunkan tidak membatasi jumlah wanita untuk dinikahi. Maka Al Quran meresponnya dengan membatasi empat istri. Inilah legal formal sedangkan idea moralnya adalah pembatasan satu istri. Ketika Al Quran diaplikasikan. [14]
Menganalisa dan selanjutnya menafsirkan al-Qur’an dengan mengandalkan pada metode hermeneutika merupakan sebuah langkah yang lari dari kenyataan apabila tetap memaksakan metodologi yang mengusung spirit prasangka dan meragukan ini. Hermeneutika yang diterapkan kepada al-qur’an yang merupakan wahyu dan secara sejarah belum pernah ada pemalsuan yang berhasil terhadapnya.

O.    Penutup
Berpijak dari ide utama Abdullah Saeed terhadap penafsiran al-Qur’an, pada dasarnya apa yang hendak ia capai adalah menjadikan al-Qu’ran sebagai Sholih likulli zaman wa makan dengan membumikan atau mengkontektualisasikan penafsirannya.
Adapun langkah hermeneutis yang ditempuh Abdullah Saeed jika hanya berpijak pada pendasaran hermeneutik semata, maka hal ini tertolak dalam hal menjadi bagian dalam metode penafsiran, karena penafsiran pada dasarnya memiliki sisi epistemology yang membedai dengan hermeneutik.
Hermeneutik bertumpu pada desakralisasi semua teks, syak (keraguan), mira’ (asumsi), dan dzon (dugaan).  Sedang tafsir itu sendiri sumber epistimologinya adalah wahyu al-Qur’an. Oleh karena itu tafsir terikat dengan ajaran yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw. Silahkan dibaca juga bantahan terhadap Hermeneutika Al Qur – an lengkap dengan argumennya yang ditulis oleh pemakalah dan dikutip dari berbagai sumber, semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka


Popular Posts

Popular Posts