IZZAH'S SILABUS TAREKH TASYRE'

IZZAH'S SILABUS TAREKH TASYRE'



                                              SILABUS TARIKH TASYRI'
                                  Smt VI UNIVERSITAS ISLAM JEMBER

Mata Kuliah: Tarikh Tasyri’
Komponen: MKK
Fakultas: Tarbiyah
Jurusan/Prodi: Pendidikan Agama Islam
Program: Strata Satu (S1)
Semester: VI
Bobot SKS: 2
Dosen: AISYAH IZZAH BILLAH AJHURY MPdI
HP.:
e-mail:
aisyah552@gmail.com

A. Tujuan

Agar mahasiswa mengetahui dan memahami dengan baik sejarah perkembangan hukum Islam semenjak masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang beserta para fuqaha’ dan metode istinbath hukum yang mereka gunakan.

B. Topik Inti:

1. Pengertian dan ruang lingkup kajian Tarikh al-Tasyri’ al-Islami.
2. Hukum yang berlaku di Arab pada masa pra-Islam.
3. Prinsip-prinsip dan Karakteristik Hukum Islam.
4. Pembinaan dan pembentukan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad SAW (610-632 M).
5. Perkembangan dan sumber hukum Islam pada masa sahabat (Khulafa’ al-Rasyidun, 632-661).
6. Sebab-sebab ikhtilaf dalam penetapan hukum Islam pada masa sahabat.
7. Perkembangan dan sumber hukum Islam pada masa tabi’in (661-750).
8. Pengaruh Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’yu terhadap hukum Islam
9. Pengaruh golongan Khawarij, Syi’ah, dan Ahl a-Sunnah wa al-Jama’ah terhadap perkembangan hukum Islam.
10. Lahirnya mazhab fiqh dan pembukuan hadits (750-1258) serta pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’.
11. Dasar pemikiran dan perkembangan mazhab hukum Islam.
12. Faktor-faktor timbulnya sikap taqlid dan kejumudan berpikir di kalangan umat Islam.
13. Pelestarian mazhab dan berakhirnya zaman keemasan Islam.
14. Pembahasan para ulama tentang sunnah, ijma’, qiyas, dan ijtihad serta pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’.
15. Munculnya istilah-istilah fiqhiyyah dan tokoh-tokoh mujtahid serta pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’.
16. Reaktualisasi hukum Islam dan pengaruhnya terhadap dinamika umat Islam masa kini.


C. Referensi

1. Khudhari Bik, Tarikh al-Tayri’ al-Islami.
2. Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami.
3. Muhammad ‘Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami.
4. Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami.
5. ‘Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami.
6. ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami.
7. Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Hukum Islam.
8. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah Pertumbuhan Hukum Islam.
9. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam.
10. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perekembangan Hukum Islam.
11. Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i.
12. Suparman Usman, Hukum Islam.
13. Fazlur Rahman, Islam and Modernity.



HARGA NAFAS KITA

HARGA NAFAS KITA


 Edisi Rabu 20 Februari 2013 

                    
Renungan Buat para Pecinta ALLAH dan RASULNYA
                                      Presented by: Aisyah  Izzah Billah Ajhury

                                                # BERAPAKAH HARGA NAFAS KITA ??? #
Taukah anda berapa harga Oksigen di RS? Jawabnya adalah Rp 25.000 perliter…
Taukah anda harga Nitrogen di RS?.....harganya adalah 10 ribu perliter.
Dalam sehari manusia menghirup 2880 liter oksigen & 11.376 liter Nitrogen, jika harus dihargai dengan rupiah Oksigen dan Nitrogen yang kita hirup akan mencapai 185 juta perhari per-orang, kalau dikalikan satu bulan Rp 185 juta x 30 = 5,5 M per-orang. Orang terkaya sekalipun tidak akan sanggup melunasi biaya nafas untuk hidupnya apabila ALLAH menggunakan rumus dagang seperti manusia.
                             MASIHKAH KITA ENGGAN BERSYUKUR???
Baru Nafas saja kita sudah semestinya membayar Rp 5,5 M perbulan dan itu GRATIS.
“Sesungguhnya segala sesuatu adalah dari DIA,                     oleh DIA, dan kepada DIA“

Dikotomi Ulama' menurut al Ghazali



DIKOTOMI ULAMA’ MENURUT AL GHOZALI*

              Oleh : Aisyah Izzah Billah Ajhury
                  
     A.    LATAR BELAKANG HISTORIS DAN BIOGRAFI SINGKAT AL GHOZALI

Lahirnya berbagai pemikiran dan gagasan dari sosok besar Al-Gazali, yang dikemudian hari menjadi pewarna bagi corak intelektualitas didunia muslim, tidak dapat dipisahkan dari kondisi atau setting sosio-historis yang melingkupinya. Kondisi social penting dimaksud, yang terjadi beberapa tahun sebelum kelahirannya hingga masa ia dilahirkan, akan diuraikan berikut ini.
Diperkirakan bahwa, periode masa munculnya al-Gazali berlangsung pada periode Abbasiyyah kedua. Pada saat menjelang kelahirannya, pengaruh Dinasti ‘Abbasiyyah sudah tidak begitu dominan dan bahkan sudah sangat lemah. Kekuasaan Dinasti Abbasiyyah sudah tidak ada yang tersisa lagi ditangan para khalifahnya, kecuali hanya kekuasaan nominal belaka. Keuasaan yang mendominasi secara factual pada dasarnya berada ditangan dinasti saljuk, kekuasaan dinasti ini membentang dari Wilayah Khorasan, Rayy, Al-Jibal, Iraaq, Al-Jazirah, Persia dan Ahwaz.1 Sejarah singkat atas kemunculan Dinasti ini dapat digambarkan beberapa tahun sebelum kelahiran al-Gazali. Tiga tahun sebelum lahirnya Sang Hujjah al Islam ini, tepatnya1055, dominasi rezim Dinasti Buayhiyyah Syiah atas kekhalifahan Sunni di Baghdad berakhir dengan tampilannya Saljuk Turky yang dikomandoi oleh Tugrul Beg (w. 1063). Sebelumnya, Tugrul Beg juga menaklukan sebagai besar provinsi sebelah timur dinasti Abbasiyyah,diantarnya ialah Persia timur yang direbutnya dari Dinasti Gaznawiyyah Turky dan Persia Barat dari Dinasti Buwayhiyyah itu sendiri. Baghdad, yang masih merupakan pusat dunia islam, oleh karenanya, berada dibawah kendali komandan Beg. Akibatnya, Beg dianugerahi gelar “Raja timur dan barat” ( king of the East and of the west) oleh Sultan Al-Qaim (w. 1075).2 khalifah yang berkuasa saat itu. Setelah Beg meninggal, ia digantikan oleh keponakannya, Alparslan, yang menjadi saljuk agung I.3 Saljuk adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh orang-orang Turky Oghus atau Ghuzz yang berrasal dari daerah Setepa Kirgiz  di Turkistan. Disekitar abad ke – 11, salah seorang diantara pemuka – pemuka  suku ini. Yang bernama saljuk, memeluk islam.4 begitu besarnya pengaruh saljuk dikalangan suku dan masyarakatnya, maka namanya pun diabadikan menjadi nama dinasti yang dikuasainya. Saljuk dikemudian hari menjadi dinasti yang besar dan menguasai banyak wilayah.
Satu satunya tantangan serius bagi bangsa atau Dinasti Saljuk dalam mengukuhkan supremasinya berasal dari Dinasti Fatimiyyah
di Mesir yang pada saat yang sama, menguasai sebagian besar Afrika Utara dan Syiriya. Keberadaan Dinasti Abbasiyyah yang beribu kota di Baghdad sebenarnya masih dikuasai namun sang khalifah tidak lebih dari sekedar sebuah symbol spiritual kepemimpinan islam sunny. Karena itu, Dinasti Abbasiyyah ini tidak dianggap sebagi tantangan bagi perkembangan teritorial Dinasti Saljuk melainkan hanya dinasti Fatimiyyah. Dalam pada itu Alparsan terus memperluas dominasinya pada wilayah wilayah lain, dengan merampas teritorial teritorial baru di Asia kecil dari  tangan orang Bizantium dan memaksa penguasa Aleppo melepaskan pengaruh kekuasaan dinasti Fatimiyyah, yang (Syiah) Isma’iliyyah, supaya masuk kedalam pengaruh kekuasaanya sendiri. Kekuasaan Saljuk mencapai puncaknya pada masa Malik Syah (putra Alparslan, w. 1092), yang kekuasaannya membentang dari Asia tengah dan perbatasan India hingga laut tengah, dan dari kaukasus dan laut Arial hingga Teluk Persia, dengan sedikit kekecualian control atas kota makkah dan madinah, dengan  wazirnya yang terkenal Nizam Al-Mulk (1063-1092).5 masa hidup Al-Gazali yang meninggal pada 1111, karenanya, hampir bertepatan dengan periode singkat – namun secara politis menampakkan perubahan dalam sejarah dunia islam- yang memperlihatkan kemunculan dan perluasan Dinasti Saljuk. Al-Gazali juga sempat hidup menyaksikan kemunduran tajam dinasti ini, menyusul pembunuhan atas Malik Syah pada 1092.6
                Walaupun sepanjang pemerintahannya, kedaulatan Saljuk banyak mencurahkan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas politik dan militer, para penulis biografi dan sejarah muslim umumnya mengatakan bahwa sumbangan positif dinasti ini kedalam sejarah dan peradaban Islam adalah pendirian perguruan – perguruan (madrasah) untuk perguruan tinggi.7 sebelumnya, pendidikan islam tidak diselenggarakan pada suatu tempat khusus secara terpadu, melainkannya hanya dilaksanakan di masjid-masjid, rumah-rumah dan  sebagainya. Pernyataan bahwa dinasti ini memelopori tumbuh-kembangnya tradisi pendidikan bertaraf tinggi dalam dunia islam, dapat didukung dengan fakta historis. Saljuk banyak berhubungan dengan persoalan-persoalan dalam bidang keilmuan dan teologi. Al-Gazali sendiri sebagai sosok ilmuwan, mendapatkan kedudukan dan reputasi yang tinggi dalam dinasti ini. Al-Gazali juga bahkan dikenal sebagai pembela ilmiyah dinasti ini.
Penguasa-penguasa Saljuk, seperti juga Al-Gazali, menganut madzhab Syafi’yah dalam hukum, fiqih dan bermadzhab Asya’riyyah dalam teologi. Akibatnya, dibawah kepemimpinan para penguasa penganun Madzhab yang sama “ si cerdas Al-Gazali kelak menikmati segala kehormatan. Tokoh politik terpenting yang dihubungkan dengan keilmuwan Al-Gazali adalah Nizam Al-Mulk, seorang wazir (setingkat perdana menteri), yang memangku jabatan selam sekitar 30 tahun sejak masa pemerintahan Alparslan sampai pada pemerintahan Malik Syah. Ia menstabilkan saljuk dan sukses meredakan ketegangan atau konflik keagamaan yang sebelumnya terjadi secara tajam antar berbagai Madzhab fiqih dan kalam.8

Pada pemerintahan Tugrul Beg, melalui wazirnya, al-Kunduri, Asy’ariyyah dikutuk, dimana al-Juwayni (w. 1085), tokoh termuka Asy’ariyyah-dan salh seorang guru utama Al-Gazali – diusingkan ke Makkah dan Madinah. Maka ole Nizam Al-Mulk, keputusan ini dibalikkan, dan mengadopsi Asy’ariyyah sebagai madzhab resmi saljuk. Al-Mulk mendirikan sekitar selusin madrasah (kolese) yang dicontoh dari institusi-institusi Syiah tersebut, Madrasah Nzjamiyyah justru mengesampingkan ilmu-ilmu filosofis dan lebih mempromsikan ilmu-ilmu agama seperti fikih dan kalam.9
            Kondisi polotik dan stabilitas dalam dinasti saljuk sempat terganggu lantaran oleh suatu gerakan politik yang berkedok agama, Batiniyyah. Gerakkan yang merupakan pecahan dari sekta Syi’ah Isma’iliyyah yang berasal dari bani Fatimiyyah di Mesir ini dipimpin oleh Hasan as-Syabah. Daerah pusat gerakannya berada di Alamut (utara quzwin). Dalam melakukan usahanya, gerakan ini tidak sengan-sengan melancarkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh saljuk dan ulama’ yang dianggap menghalangi gerak langkah mereka. salah seorang korbannya yang besar ialah Nizam Al-Mulk, yang terbunuh pada 1092. Gerakan ini baru dapat dihancurkan oleh Tartar dibawah kepemimpinan Hulagu pada 1256.10
            Disamping penggangguan dari Batiniyyah, kematian Nizam Al-Mulk, disusul kematian Malik Syah, dan pertengkaran diantara putra-putra Syah ini: Mahmud, Burqiaruq, Sanjar, dan Muhammad- yang kemudian dimenangkan oleh Burkiyaruq- menjadikan Dinasti Saljuk guncang. Bahkan, pertikayan memperebutkan kekuasaan ini kembali mencuat menyusul kematian Bulqiaruq pada 1004. Putra Burqiaroq yang juga bernama Malik Syah, memproklamirkan diri sebagai sultan melalui pengumuman di masjid - masjid wilayah timur di Baghdad. Tetapi sekitar sebulan kemudian, pamannya, Muhammad ibn Malik Syah, juga memaklumkan diri raja di masjid-masjid sebelah barat Baghdad.
            Kondisi perebutan kekuasaan terakhir ini tidak disaksikan secara langsung oleh Al-Gazali, karena pada  saat yang sama, ia telah meninggalkan Baghdad. Sekembalinya dari makkah,Al-Gazali hanya menyaksikan bahwa Muhammad ibn malik syah telah menjadi raja. Kendati demikian ,pakar-pakar sejarah mensinyalir bahwa selama Al-Gazali tinggal Di Makkah, ia mengetahui semua kemelut kekuasaan yang terjadi ditubuh dinasti tersebut.
             Demikianlah, sekelumit tentang kondisi social politik dan keilmuwan teologis yang merupakan setting historis yang melatar belakangi, seorang Al-Gazali, yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad at-Tusi Al-Gazali ini, dilahirkan pada 450 H/1058 M. di Tus, Khurasan. Sebelum lahirnya, daerah tersebut telah melahirkan pribadi-pribadi ternama seperti penyair Firdausi (w. 1025) dan Negarawan Nizam Al-Mulk seperti yang telah dipaparkan dimuka, memainkan peran menonjol dalam kehidupan intelektual Al-Gazali.11          
Lingkungan pertama yang membentuk “kesadaran” Al-Gazali adalah lingkungan keluarganya sendiri. Informasi tentang keluarganya tidak banyak ditemukan. Namun, jelas bahwa keluarga ini adalah keluarga yang taat menjalankan agama. Ayahnya adalah seorang penenun wol ekonomi sederhana tetapi religius dalam sikapnya. Ia suka mendatangi diskusi – diskusi para ulama menyumbang dana untuk kegiatan mereka sesuai dengan kemampuannya.12 Ia sangat mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang selalu memberi nasihat kepada umat.13 Ayahnya meninggal ketika Al-Gazali dan saudaranya Ahmad (w. 1126)14 masih kecil. Sebelum meninggal, Al-Gazali dan Ahmad dititipkan pada salah seorang teman ayahnya, seorang Sufi yang hidup sangat sederhana, Ahmad ar Razkani.15 Suasana sufistik ini menjadi lingkuangan kedua yang turut membentuk “kesadaran” AL-GAZALI. Suasana dalam kedua lingkungan ini dialaminya selama ia menetap di Tus, diperkirakan sampai AL GAZALI berusia 15 tahun (450-465 H).16 tentang ibunya, Margereth Smith mencatat bahwa ibunya masih hidup dan berada di Baghdad ketika ia dan saudaranya , Ahmad, sudah menjadi terkenal.17
Pengembaraan Al-Gazali dimulai pada usia 15 tahun. Pada usia ini, Al-Gazali pergi ke Jurjan untuk berguru pada Abu Nasr al-Isma’ili. Pada usia 19 atau 20 tahun , Al-Gazali pergi ke Nisabur,dan berguru pada al - Juwaini hingga ia berusia 28 tahun.selama di madrasah Nisabur ini, al - Gazali mempelajari teologi, hukum, dan filsafat. Menurut Ibn Khallikan, di bawah bimbingan gurunya itu, ia sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai berbagai persoalan mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, usul fikihnya, logikanya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengannya,  serta menguasai berbagai pendapat tentang semua cabang ilmu tersebut. Al-Gazali juga mampu menjawab tantangan dan mematahkan pendapat lawan-lawannya mengenai semua ilmu tersebut, serta mampu menulis karya-karya yang paling baik dalam semua bidang itu, yang semuanya diwujudkan dalam waktu yang relatif singkat.18  Selain disiplin-disiplin diatas,disiplin studi lain yang “merampas” pikiran al-Gazali selama tinggal di Nisabur adalah Sufisme. AL-Gazali memplajari teori dan praktiknya dibawah bimbingan AL-Farmazi (w.477H).19  Pada saat itu,Al-Gazali mungkin telah pula di perkenalkan dengan klaim Ta’limiyyah atau Isma’iliyyah, yang menyatakan bahwa mereka (para pendukungnya)merupakan satu- satunya pengajaran (at-ta’lim)otoritatif dan penerima hak istimewa pengetahuan yang di peroleh dari Imam Ma’sum (bebas berdosa). Tetapi pandangan yang umumny diterima adalah bahwa Al-Gazali belum mulai mempelajari doktrin dan ajaran Ta’limiyah  hingga al-Mustazir menjadi khalifah pada 1094.20  namun demikian, al-Gazali sendiri menginformasikan bahwa sebagian klaim Ta’limiyah sudah diketahuinya sebelum perintah khalifah datang.21 kenyataannya ia memiliki waktu yang panjang untuk coba mengetahui dan mendalami posisi para kelompok Ta’limiyah tersebut.

Sepeninggal al-Juwayni, Al-Gazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang para sarjana.  Disinilah ia berjumpa dengan  Nizam al-Mulk. Kehadiran  Al-Gazali disambut baik oleh Wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa oleh karena itu kedalaman ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan keunggulannya. Dengan demikian, jadilah Al-Gazali “Imam” di wilayah khurasan ketika itu.22  Ia tinggal di kota Mu‘askar ini hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran Al-Gazali dalam bidang fiqih, teologi, dan filsafat, maka Wazir Nizam Al-Mulk mengangkatnya menjadi “guru besar” telogi dan “Rector” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah didirikan pada 1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484/juli 1091. Jadi, saat menjadi guru besar ( Professor ), al- Gazali baru berusia 34 tahun.23
            Selama tinggal di Baghdad, Al-Gazali meniti karir akademiknya hingga mencapai kesuksesan dan mengantarkannya menjadi sosok atau tokoh terkenal di seantero Irak. Selama 4 tahun, ia mengajar sekitar 300-an siswa - Ulama, termasuk diantaranya beberapa pemuka Mazhab Hambali semisal ibn ‘Aqil dan Abu Al- Khattab; suatu hal yang amat langka terjadi pada saat permusuhan antar Mazhab sangat runcing pada masa itu. Karenanya, dengan cepat al-Gazali menjadi terkenal di Irak, hampir saja mengalahkan popularitas penguasa dan panglima di Ibukota ‘Abbasiyyah.24 dalam waktu yang sama , secara otodidak , ia mempelajari filsafat dan menulis beberapa buku. Dalam tempo kurang dari dua tahun, ia sudah menguasai filsafat Yunani, terutama yang sudah diolah oleh para filsuf muslim (falasifat) semisal al-Farabi (870-950). Ibn sina (980-1037), ibn Miskawayh (936-1030), dan al-Ikhwan as-Safa.25
               
Penguasaannya dibidang filsafat ini di buktikannya dengan peluncuran karyanya, Maqosid al-Falasifah. Buku ini berisikan uraian tentang logika, metafisika, dan fisika.26 kemampuannya dibidang ini diselaraskannya dengan misi penguasa dan ulama, yakni mengantisipasi pengaruh filsafat yang dianggap berbahaya bagi agama. Karenanya, ia melunurkan karya keduanya dibidang ini, Tahafut al-Filasifah, sekalipun karya kedua ini dimaksudkan untuk menunjukkkan berbagai kesesatan atau inkhoherensi dalam filsafat itu sendiri . Namun, , menarik untuk dicermati bahwa pengutukan al-Gazali terhadap filsafat ini pada saat yang sama, sebetulnya ikut memperkenalkan filsafat itu sendiri kepada masyarakat. Sebab, al-Gazali menjelaskannya secara rinci kepada mereka yang bukan filsuf.27 Reputasinya dibidang filsafat ini menambah tenar popularitasnya, sebab ketika itu, belum perna ada seorang teologpun yang mampu menghantam pemikiran para filsuf dengan senjata mereka sendiri. Kemampuan al-Gazali dibidang ini ternyata juga disadari secara baik oleh Khalifah Al-Mustazhir bi Allah. Karena itu, khalifah ini memintaya untuk menulis sebuah karya khusus yang bertujuan untuk menghantam aliran batiniyyah yang ketika itu sedang gencar gencarnya mengganggu stabilitas politik nasional. Maka lahirlah karya  Fadaih al-Batiniyyah wa Fadail al-Mustazhiriyyah.28  Dalam pada itu, kendati al-Gazali tampak banyak mencurahkan perhatiannya pada filsafat, ia masih tetap mendalami bidang fiqih dan kalam, dan menghasilkan pula karya karya berkualitas dibidang bidang ini, seperti al-Wajiz, al-Wasit, al-Basit,  dalam bidang fiqih dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad Dlam bidang kalam .29 Dengan demikian, al-Gazali merupakan sosok intelektual yang menguasai banyak lapangan intelektual,  disamping berhasil pula menyelaraskan kehidupan intelektualnya dengan aspirasi penguasa. Sehingga, wajar kalau ia memperoleh popularitas disamping pula  kemewahan.30 Pada saat-saat inilah al-Gazazali mencapai puncak kariernya.

            Namun pada 1095, al-Gazazali secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad. Dia
meninggalkan posisi strategis akdemik politik yang demilian memuncak ini dengan segala popularitas yang menyertainya. Dia bahkan juga meninggalkan keluarga dan kemewahan dan menuju Damaksus untuk menjalani suatu kehdupan yang sama sekali lain dari pada kehidupannya selama ini. Al - Gazazali menempuh suatu kehidupan sebagai seorang Sufi yang fakir dan Zuhud terhadap dunia. Dalam kehidupannya sebagai seorang sufi, lahirlah sebuah karya fenomenal yang berjudul “ IHYA’ ULUMUDDIN “  yang salah satu pembahasannya adalah tentang Ilmu dan ulama’ .

B.     BEBERAPA PENDAPAT TENTANG DEFINISI DAN CIRI-CIRI ULAMA’
1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.”
2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”
3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”
4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)
5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)
6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنًهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطاَنَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (An-Nisa: 83)
7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ آمَنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أَوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذِا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأًذْقاَنِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحاَنَ رَبِّناَ إِنْ كاَنَ وَعْدُ رَبِّناَ لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقاَنِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعاً
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]
Inilah beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. [31]

C.   DIKOTOMI ULAMA’ MENURUT AL GHOZALI

..
Menurut Al Ghozali, ulama’ adalah orang yang berilmu serta mengamalkan ilmunya sebagaimana dijelaskan dalam hadits  Rasulullah “ Tidak disebut ‘Alim sampai dia mengamalkan Ilmunya.”
      Imam Ghazali membagi ulama dalam dua kategori, 1.Ulama Akherat 2. Ulama Dunia(Ulama’ Su’) Yang pertama adalah ulama pewaris Nabi, warasat al-anbiya. Sedangkan yang kedua adalah Ulama su' (jahat). "Mereka inilah yang mempergunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan duniawi, termasuk menjadikannya tangga untuk meraih pangkat dan kedudukan. Sementara itu, ulama akherat adalah ulama yang sadar betul akan ilmu yang dimilikinya.

 Ciri-ciri Ulama' Akhirat

Inilah dia ulama yang haq, ulama pewaris Nabi. Yakni ulama yang benar-benar beramal dengan Al Quran dan Sunnah. Disebut juga ulama al 'amilin. Umumnya mereka ini banyak di zaman salafussoleh. Karana itu kita sebutkan mereka ulama salafussoleh. Yang mana selepas generasi mereka, cukup sulit untuk dapatkan ulama yang haq ini. Ada juga tetapi tidak banyak. Boleh dihitung dengan jari. Mereka juga dinamakan 'ulama Akhirat' (karena mereka dapat menggunakan kesempatan dunia untuk Akhirat). Sekaligus dunia tidak dapat menipu mereka. Di Akhirat mereka akan jadi orang yang menang yakni jadi orang besar dan orang kaya Akhirat, insya-ALLAH.

Merekalah yang mengambil tugas nabi-nabi di zaman tidak ada nabi. Mereka bagaikan obor di zamannya. Pribadi mereka adalah bayangan pribadi Rasulullah SAW.  Berikut ciri-cirinya :
  1. Istiqomah aqidah, ibadah, akhlak dan dakwahnya, takutnya hanya pada Allah (QS Al Anbiya 28)
  2. Senangnya berjamaah ke masjid, lembut tutur katanya, bicaranya hikmah yang mengajak hijrah menuju Allah, tegas menyampaikan Haq, tampak sekali kerendahan hatinya, wajahnya murah senyum bercahaya,
  3. Ikhlasnya mengajar tanpa minta upah apalagi bertarif, “Ikutilah mereka yang berdakwah yang tidak minta upah, merekalah hamba-hamba Allah yang mendapat hidayah Allah” (QS Yasin 21) menerima upah dari berdakwah juga tidak apa-apa asalkan tidak meminta-minta bayaran (pasang tarif). Rasulullah bersabda : Dari Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya ia berkata: “Umar bin Khattab ra mempekerjakanku untuk mengumpulkan sedekah. Tatkala selesai dan telah aku serahkan kepadanya, ia memerintahkan aku untuk mengambil upah.” Lalu aku berkata: ”Aku bekerja hanya karena Allah, dan imbalanku dari Allah.” Lalu ia berkata: “Ambillah yang telah aku berikan kepadamu. Sesungguhnya aku bekerja di masa Rasulullah saw dan mengatakan seperti apa yang engkau katakan.” Lalu Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Jika aku memberikan sesuatu yang tidak engkau pinta, makanlah dan sedekahkanlah.” (HR. Muslim).

    Hadits di atas juga menunjukkan bolehnya menerima upah yang tidak dimintanya, karena upah ini memang sudah menjadi hak bagi seorang da’i.
  4. “Tsiqqoh” kuat menjaga janji, “waro’” sangat takut dan berhati-hati dengan Hukum Allah
  5. Siang malam memikirkan umatnya, umatnyapun selalu ia sertakan dalam doanya terutama setiap tahajjudnya dipenghujung malamnya, iapun sibuk berikhtiar untuk keberkahan keluarga dan dakwahnya, keluarganyapun sakinah dan uswah hasanah, kuatnya shilaturahm
  6. Penghormatan pada perbedaan pendapat, memaafkan pada mereka yang menyakitinya, jauh dari sifat dengki bahkan ia senang untuk selalu belajar, mengaji dan berguru lagi (QS Ali Imran 79).
  7. Dakwahnya selalu berisi seruan untuk meraih kehidupan akhirat, tidak membicarakan bagaimana mendapatkan kesejahteraan dunia, sederhana dan menjaga jarak dengan penguasa.
  8. Tidak menganggap majilis yang beliau pimpin paling baik, tidak menjelek-jelekkan majilis yang dipimpin ulama' lain dan tidak memusuhi umat Islam yang berbeda pendapat karena mengingat Firman Allah Ta'ala.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al Hujuraat: 10)

Ciri-ciri Ulama' Dunia (Ulama' Su')

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan “para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari keberadaan mereka sebagaimana dalam sabdanya, … Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang menyesatkan.” (H.R. Abu Daud dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu).:
  1. Sebaliknya, ulama dunia atau ulama su' selalu menginginkan kekayaan (hidupnya bermewah-mewah) dan kehormatan duniawi.
  2. Celakanya, mereka tidak segan-segan berkhianat pada hati nurani, asalkan tujuan mereka tercapai.
  3. Dalam kenyataannya, ulama tersebut bergaul bebas dengan raja-raja dan pegawai pemerintah, penguasa, serta memberikan sokongan moral terhadap tindakan mereka, tak perduli baik atau buruk.
  4. Terkait dengan ulama su', ada ilustrasi menarik yang dipaparkan Ibnu Mas'ud : "Kelak akan datang suatu masa tatkala hati manusia asin; ilmu tidak bermanfaat lagi. Saat itu, hati ulama laksana tanah gundul dan berlapiskan garam. Meski disiram hujan, namun tidak setets pun air tawar nan segar dapat diminum dari tanah itu." 
  5. Dalam dakwahnya mereka membicarakan tentang meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia bukan bagaimana caranya meraih kesejahteraan di akhirat.
  6. Berdakwah jika hanya ada upahnya. Kalau tidak ada upah enggan untuk berdakwah.
Agar terhindar dari hasutan ulama' Su' hendaknya kita senantiasa berdoa dan belajar Islam kepada para Ulama' Akhirat dengan ciri-ciri diatas [32
REFRENSI

Popular Posts

Popular Posts